Rabu, 23 Desember 2009

Kemana lari dari penderitaan?

 
     Penderitaan yang dialami sekarang disebabkan tidak lain karena kita merasakan akan dapat mengalahkan penderitaan lahiriah dengan jalan mengisi keinginan dengan serba kemewahan dunia yang berupa kekayaan materi. Hal ini tidak mungkin, buktinya dalam kisah Mahabharata, Suhita tak dapat mengalahkan Bhisma. Bhisma sendiri akan kalah oleh senjata Srikandi. Srikandi dapat diartikan kemakmuran dan ilmu pengetahuan. Dengan pengetahuan akan keperluan hidup yang vital, mana yang merupakan keperluan untuk hiburan, dan mana untuk mengisi sifat ego itu. Hanya dengan bantuan kebijaksanaan akan dapat mengalahkannya sehingga tidak akan memaksa diri kita untuk mencari penderitaan dengan jalan mengabaikan hakekat dari kelahiran kembali ini. Kita sering bertindak seperti tindakan Duryodhana dalam mengisi permintaan Bhisma yang sedang mengalami penderitaan, sehingga untuk menyenangkan diri si peminta dan sesuai dengan pertimbangan lahiriah, maka kita akan berusaha memberikan kemewahan dunia/uang, pakaian, kendaraan, perhiasan dan sejenisnya. Akhirnya pemberian itu malah akan membuat lebih hancurnya yang diberi, dan akan menambah beban yang diderita. Inilah sebabnya Bhisma tidak mau menerima karena telah tahu apa yang akan menimpanya dengan melihat pengalaman pada waktu dia jatuh di sungai Gangga. Namun pemberian Arjuna yang berupa panah penyangga tubuhnya, itulah yang diminta oleh Bhisma, bukan kemewahan dunia. Panah adalah suatu simbul pikiran yang keluar dari kebijaksanaan yang dilandasi oleh jiwa Ketuhanan, dan berjumlah 10 (sepuluh) buah yang memiliki makna pikiran yang luas. Bila konsep pikiran ini tidak ditemukan, hanya berdasarkan pikiran lahiriah, maka mau tidak mau penderitaan itu akan makin menjadi dan tambah menyakitkan hati. Lalu pikiran selalu diarahkan untuk melamun. Kemana? Tidak akan menemukan arah, hanya penanggulangan sementara saja. 
    Menanggulangi suatu penderitaan adalah dengan jalan berani menderita. Keberanian untuk menjalani penderitaan akan ada apabila kita dapat menghayati pengertian tentang Tuhan. Dengan telah dapat menghayati pengertian ini, lalu berpikir apa yang perlu dilakukan. Kepada Tuhan tidak lain adalah bhakti, dengan sifat pengabdian yang pasrah, barulah penderitaan itu akan lenyap dengan sendirinya tanpa bekas. Hal ini dapat dicontohkan sebagai berikut : (1) Kita menangis karena perasaan kecewa yang amat sangat sehingga kita lupa dan menangis sejadi-jadinya. Pada saat itu kita teringat akan Tuhan, otomatis ingat akan diri sendiri. Masihkah tangis itu?, (2) Kita marah sejadi-jadinya karena orang itu berbuat yang menjengkelkan. Lalu waktu itu ada orang lain yang datang dengan cerita Tuhan. Kita teringat akan Tuhan, masihkah marah itu?
Inilah suatu bukti bahwa Tuhan, tempat kita berteduh yang sejuk dan nikmat. Dihadapan Tuhan pasti jiwa kita akan pasrah. Kepasrahan itu akan hilang apabila kita ingat pada orang lain, dan ingat pada rasa Aku kita dan lupa pada Tuhan, maka muncullah seribu satu kesulitan.
    Dalam kehidupan saat ini banyak sekali kita mendengar keluhan-keluhan termasuk juga diri kita sendiri yang tidak mampu mencari jalan ke luar dari permasalahan yang sedang melanda dunia ini, hal ini disebabkan tiada lain dari pikiran yang berkonsentrasi hanya pada kehidupan dunia maya ini dengan pikiran yang selalu terikat oleh sikap berpikir untuk menerima apa saja asalkan sudah bersama-sama. Di samping itu dengan penderitaan badani yang menimpa kehidupan sekarang mau tidak mau pikiran itu akan lupa kepada yang menjadi tujuan dan lupa pula mengapa terjadi seperti ini. Ini tiada lain dari pikiran yang dulu pernah terbebas dan pernah mendapat rasa tenteram dan kebahagiaan, sekarang telah pergi dan sangat jauh. Jalan berpikir yang demikian seperti jalan berpikirnya Dewi Gendari ketika anaknya telah tewas di medan laga Kuruksetra. Kita lupa pula akan arti Kuruksetra adalah suatu peleburan dari yang bersifat duniawi menjadi sifat lestari. Ini pula yang menyebabkan tumbuh kembali sifat menipu diri sendiri/menipu kebenaran dengan alasan/ungkapan bagaimana saya berbuat sekarang, sebab yang menderita adalah anak, istri, saudara, ipar saya, dan sebagainya, yang mana sebenarnya adalah suatu penipuan yang sangat halus sekali. Bila rasa sayang akan anak, istri, keluarga, dan sebagainya. Bukanlah harta yang menjadikan mereka untuk kembali baik. Bukan dengan mengisi kekurangan materinya yang membuat mereka sadar. Bukan dengan memberikan kenikmatan dia akan sadar. Bukan dengan kemewahan dunia ini, tetapi bila ingin melihat mereka sadar dan berpikir ke jalan yang bahagia tiada lain dengan memberikan suatu pengertian akan hidup yang sebenarnya, yaitu dengan membuang jauh-jauh sikap, pikiran yang menyebakan adanya penderitaan sekarang ini. Jalan itu tiada lain dengan menyadari kemampuan sendiri, pikiran dan diri sendiri sebagai makhluk Tuhan yang semuanya adalah pelaksana dari suatu pengabdian.