Selasa, 24 April 2012

Renungan Malam Purnama di Taman Mayura (8)


 Kalau kembali kepada tri kerangka agama, juga untuk dapat melihat hubungan Falsafah, Rituil dan Ethica sehingga dapat menemukan kekuatan yang ada serta dapat memanfaatkannya. Rituil dengan serba neka bentuk dan wujudnya. Begitu juga unsur-unsur dunia. Lalu apa yang terkandung dalam unsur-unsur rituil itu? Perlu diingat pengertian BHUWANA AGUNG dan BHUWANA ALIT atau MAKROKOSMOS dan MIKROKOSMOS. Hal itu berarti bahwa uraian dari materi rituil itu adalah merupakan uraian Falsafah atau suatu kebenaran hakekat. Unsur dunia, seperti bumi (tanah) atau hasil-hasil yang terpendam di dalam tanah, air, tumbuh-tumbuhan, binatang, unsur udara serta isinya yang lain. Susunannya disesuaikan dengan unsur-unsur yang mana lebih tinggi fungsinya untuk memberikan kebahagiaan. Bagaimana pula agar kesemuanya dapat menunjukkan keharmonisannya, sehingga yang satu dengan yang lain tidak akan mengganggu pandangan atau mengurangi fungsi yang lain. Mantram sebagai ucapannya agar dapat menunjukkan fungsi dari unsur atau bagian dan rituil yang sedang dipergunakan, atau yang sedang dikerjakan. Begitu juga dengan rituil dan mantram akan disesuaikan dengan upacara apa yang sedang dilakukan, dan untuk apa. Dan begitu juga dengan etika yang dipergunakan. Materinyapun tidak ketinggalan. Baik materi sebagai alat yang utama, maupun sebagai alat pembantu. Rituil keagamaan yang tertuju kehadapan Tuhan sebagai sumber hidup dan pemberi hidup, juga tak kurang pentingnya persembahan sebagai manusia untuk keperluan hidup dan sumber hidup (atman), juga pada bangsa dan negara sebagai sumber hidup dan pemberi tempat serta mencari alat untuk hidup, perlu adanya persembahan. Dalam upacara keagamaan, persembahan yang lebih luas lagi bukan hanya sekedar berupa materi dan tenaga lahiriah saja, namun perlu adanya pengorbanan perasaan (rohani) dan tenaga yang tersembunyi berupa CIPTA. Kedua-duanya menjadi satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Ini merupakan kebenaran dari kata TRI KAYA PARISUDHA. Semuanya dipersembahkan untuk keperluan sumber hidup (Brahman). Tattwa merupakan suatu kebenaran yang sejati (sumber hidup atau jiwa) yang diuraikan dengan upakara (banten, sajian-sajian) dan dengan ucapan-ucapan melalui kitab-kitab suci seperti Weda-weda dan lain-1ainnya.    Bila pikiran telah terang seperti panas yang dapat menimbulkan sinar (nyala) akan dapat melihat dari Upakara (Rituil) dan Etika, kebenaran apa yang terkandung di dalamnya. Karena hubungan antara objek (rituil) dengan indria, akan timbullah suatu perasaan yang bersifat dua atau RWABHINEDA. Kembali lagi untuk menentukan rwabhineda itu, apakah akan menimbulkan kesedihan atau kegembiraan, tergantung ada unsur aku (pribadi). Melihat unsur rituil itu hanya sekedar hiasan hidup yang mati, atau merupakan suatu simbul kebenaran yang terurai tergantung kepada mata aku (pribadi) yang memandang. Upakara memberikan ilham akan kebutuhan materi untuk dapat hidup yang sehat dan sempurna. Upakara memberikan ilham akan keserbanekaan keperluan materi di dunia. Upakara memberikan ilham untuk mencarinya di dunia. Materi upakara memberikan pengembangan ratio untuk menyelidiki alam jagat raya dengan segala isinya. Upakara pula memberikan perangsang mengadakan korban untuk kepentingan orang 1ain, baik berupa materi, tenaga dan moril. Upakara juga memberikan perangsang untuk mengembangkan pengetahuan dunia (alamiah) dan pengetahuan iratio yang mistik. Upakara juga memberikan perangsang dalam etika pergaulan agar segala tingkah laku menjadi alat penghubung yang menyenangkan dan tertib, serta penuh sopan santun yang berbudi luhur. Upakara juga dapat memberikan perangsang untuk mengembangkan seni budaya yang baik, sopan, serta dapat memberikan kepuasan hidup yang kreatif. Jadi rituil itu adalah suatu yang hidup yang dapat menambah gairah di segala bidang. Pikiran (manah), budhi, citta, indria, ahamkara semuanya dapat terpenuhi diarahkan kepada sumber hidup dan prikehidupan di dunia menuju kematian (kebebasan). Rasio akan berkembang dengan pesatnya, sehingga akan bermunculan penemuan yang baru, demi mengisi hidup yang serba maju dan dapat mengisi keinginan yang serba baru dengan seni budaya yang selaras dengan perkemangan zaman. Spirituil akan maju dengan pesatnya, karena pengertian yang akan dibawakan oleh tujuan dari upakara. Keinginan akan berubah menjadi suatu kemauan yang luhur demi memelihara rohani dan jasmani. Keterikatan akan semua materi akan berubah menjadi suatu alat yang berfungsi untuk memelihara kedamaian dunia dan badan. Sebab untuk mendapat penemuan yang baru, telah tergores suatu pengorbanan di segala bidang. Dapat yang satu, hasilnya akan dipakai atau dipergunakan untuk menemukan yang kedua, begitulah seterusnya, sehingga merupakan korban (yadnya) yang besar yang dapat disumbangkan kepada dunia atau sesama manusia. Keinginan yang ditingkatkan oleh adanya pengertian hidup akan menjelma menjadi kemauan dan keberanian berkorban dengan segala resikonya. Dengan kemauan sebagai modal hidup berjuang, yang didampingi oleh ilmu pengetahuan yang bijaksana, tenaga, serta materi yang ada. Kesemuanya akan dikorbankan demi suatu kemauan yang diprakarsai oleh pikiran yang terang. Begitu juga pengetahuan agama akan menjadikan sumber berpikir dalam menyelidiki dunia dengan hakekat yang tersembunyi dalam simbul kata-kata. Pengetahuan agama tidak akan menjadi pengetahuan yang mati. Ceritra agama tidak akan menjadi pengetahuan ceritra hiburan belaka. Pengetahuan agama baik yang merupakan kitab suci, maupun yang merupakan ceritra dan lain-lainnya akan merupakan bahan pengetahuan yang hidup. Jiwa dan pengetahuan itu sendiri perlu mendapat penyelidikan. Nama adalah merupakan satu istilah kehidupan. Berkembanglah ilmu pengetahuan sastra dan pengetahuan lainnya yang kreatif dan positif. Dengan berkembangnya daya berpikir manusia yang kreatif dan positif akan merubah pandangan hidup beragama serta pandangan mengenai agama itu sendiri. Agama tidak hanya sebagai DOGMA, tetapi merupakan ajaran kebenaran dan kenyataan.
Agama tidak saja merupakan suatu seni penghibur bagi orang-orang yang kesedihan (lemah), tetapi merupakan suatu keharusan hidup yang bahagia/agama tidak hanya sekedar ajaran kerohanian yang sempit, tetapi adalah suatu ajaran ketuhanan dalam segala manifestasinya yang terbebas, dan kreatif serta hidup. Dengan pengetahuan agama akan dapat merubah pandangan yang berat sebelah, menjadi seimbang dan sempurna yang penuh TATTWAMASI. Sarwa idham khalu Brahman, Wyapi wyapaka, Atman Brahman Aikyam atau bersatu padu menjadi suatu pengertian hidup sebagai mikrokosmos dan makrokosmos akan terpenuhi. Kama (keinginan indria akan materi dunia), akan dapat terpenuhi. Artha akan dapat membawa alat-alat indria pengisi KAMA itu pada tujuan atau proporsinya, sehingga dapat dipakai alat menjalankan dharma (kewajiban). Setelah itu dapat dipenuhi, KEBAHAGIAAN telah tercapai. Jadi bukan berarti bahwa hidup ini harus terkendali oleh suka duka, namun harus dapat membebaskanya dengan pikiran yang terang (PENGERTIAN). Bila telah sampai pada pengertian hidup sebagai manusia yang lahir dan akan mati, serta hidup adalah untuk berusaha membebaskan citta yang menyebabkan lahir kembali dengan dunia sebagai alatnya (Wiswamurti)

Rabu, 18 April 2012

Renungan Malam Purnama di Taman Mayura (7)


Kembali lagi kepada Catur Warna. Hal ini tidak saja di dalam kehidupan individu, juga dalam kehidupan sosial sebagai manusia beragama, bermasyarakat, bernegara dan berkeluarga. Dalam hidup sosial, sesuai dengan perbedaan daya kemampuan masing-masing dalam melakukan kewajiban di masyarakat, perlu adanya perbedaan tugas kewajiban, menurut ajaran agama, dipilihlah orang-orang yang mampu memegang pengetahuan ketuhanan (AGAMA). Bagi mereka diberikan untuk mengadakan pendidikan agama dan mengurusi hal-hal yang menyangkut hidup beragama. Warna yang diterimanya adalah BRAHMANA. Kedua yang dapat melaksanakan pengetahuan pengaturan hidup yang benar, dan membela serta mempertahankan hidup beragama dalam masyarakat sehingga satu dengan lainnya dapat melakukan dharmanya dengan tentram. Warna yang diberikan kepadanya KSATRIA, yang berarti melindungi kebenaran. Brahmana akan mengatur hidup spiritual dan Ksatria akan mengatur hidup materiil (phisik). Ketiga adalah sebagai badan pengaturan  alat-alat keperluan hidup (sandang pangan) diserahkan  kepada yang mempunyai modal materi. Kepada mereka diberikan warna WESYA. Keempat yang tidak mempunyai ilmu dan modal serta pikiran pengendalian, dan hanya dengan tenaga kerja melulu, kepadanya diberikan warna SUDRA. Di sinilah akan kelihatan, bahwa agama hanyalah suatu wadah kebenaran hakekat. Di sini akan kelihatan bahwa agama hanya sekedar ajaran kerohanian dan bukan kehidupan yang luas. Ini pula yang menyebabkan adanya pandangan, bahwa dengan mempelajari atau mentaati ajaran agama, menyebabkan kemelaratan hidup di dunia. Lalu mana yang benar, apakah agama hanya sekedar ajaran kerohanian atau ajaran hidup dalam menuju kemakmuran materiil dan kemakmuran spiritual. Benarkah kalau ada pendapat, yang mengatakan seperti ini. Agama tanpa ilmu adalah lumpuh, dan ilmu tanpa agama adalah buta. Namun akan kembalilah suatu pandangan sebelah pihak. Rohani melulu, jasmani menyendiri. Inilah yang menyebabkan kepincangan, sehingga kedua-duanya tidak akan mendapat ketentraman. Inilah yang menjadi sebab permulaan adanya penipuan diri sendiri . Bila dilihat lagi dari kata TRI KAYA dan TRI  KAYA PARISUDHA. Mengapa harus diisi dengan kata PARISUDHA lagi. Kaya adalah perbuatan. Tri adalah tiga. Parisudha adalah disucikan. Tri kaya mengandung arti tiga perbuatan (gerakan yang dilakukan oleh manusia). Manacika adalah perbuatan pikiran (logika). Wacika adalah pembicaraan. Kayika adalah perbuatan anggota badan. Kalau ketiga-tiganya dalam geraknya tidak searah, dan saling bertentangan, menandakan sesuatu yang tak benar pengendaliannya. Inilah suatu penipuan diri sendiri dan juga untuk orang lain. Karena gerakan yang saling bertentangan yang menyebabkan suatu yang tidak benar, perlu diadakan perbaikan agar menjadi gerak searah. Setelah menemukan gerak searah baru dapat ditambah dengan Parisudha. Atau dengan kata lain menemukan kehidupan yang benar. Kalau kembali lagi ke Catur warna, hendaknya dari Brahmana, Ksatria, Weysa dan Sudra mempunyai satu kesatuan gerak dan arah. Barulah terjadinya keharmonisan. Kembali lagi ke Tri Hita Karana, manusia sebagai badan penghubung antara Tuhan dan Jagat, manusia pula yang dapat memikirkan kepentingan kedua belah pihak. Baik sebagai tenaga pemberi, tenaga pelaksana, dan tenaga pencari dan sebagai tenaga pencipta keharmonisan hidup, sebagai tenaga pemelihara dan sebagai tenaga pelebur yang menjadikan hilangnya heharmonisan hidup. Seperti halnya Catur Warna, dan dengan budhi, citta, manah dan ahamkara, akan dapat dibedakan menjadi dua bagian. Bidang mental ialah Brahmana dan Ksatria yang mempunyai identifikasi dengan citta, budhi, manah, Wesya dan Sudra mempunyai kesamaan dengan ahamkara dan indria. Dengan adanya Tri Kaya itu, dapatlah membawa pandangan ke dalam agama. Dalam agama akan dijumpai TIGA KERANGKA. Tiga kerangka tadi ialah : tattwa, upakara dan tata susila. Dilihat selayang pandang akan merupakan tiga hal yang satu dengan lainnya yang dipisahkan. Namun tak dapat dipisahkan. Seperti halnya yang ada pada diri manusia. Tattwa adalah jiwanya, upakara adalah badannya, tata susila adalah geraknya. Jiwa adalah unsur kebenaran hakekat (TATWA), badan merupakan wadahnya (UPAKARA), sedang geraknya/perbuatanya yang dilakukan untuk dapat membawa badannya supaya hidup adalah  TATA SUSILA. Atau dangan istilah yang lumrah ialah Filsafat, Rituil dan Etika. Ketiga-tiganya selalu ada. Jiwa tanpa badan, tidak mungkin. Badan tanpa jiwa juga tidak mungkin. Jiwa dan badan tanpa gerak sama dengan mati sebelum mati. Yang kelihatan hanyalah badan dan geraknya. Untuk mengetahui jiwanya (hakekatnya), dapat dilihat melalui badan dan gerak. Keduanya ini disebut kenyataan lahiriah dan juga disebut MAYA. Sedang jiwanya yang tak nyata disebut kegaiban atau mistik atau yang SEJATI. Dalam agama yang kelihatan dan menonjol adalah Rituil dan ETIKA. Rituil yang berupa materi dan ucapan-ucapan suci atau mantram. Mengucapkan mantram dan tatacara melakukan (Upacara) adalah merupakan Etika. Inilah yang merupakan maya daripada agama. Namun kebenaran HAKEKAT tak pernah nampak. Begitu juga dalam Tri Kaya, yang nampak adalah wacika dan kayika. Manah tak pernah nampak, kalau tidak dicari dengan kekuatan rabaan daya kemampuan berpikir atau membayangkannya. Yang mistik tak pernah tampak, dan yang tampak hanyalah yang dapat dilihat oleh pancaran indria. Begitu juga yang ada pada tubuh manusia. Jasmani yang nampak, namun jiwanya tak nampak. Apakah benar yang ada hanya yang nampak saja? Kalau yang nampak saja yang ada, mengapa ada manusia yang dikatakan hidup dan manusia yang dikatakan mati, seharusnya manusia tetap hidup saja, atau tetap mati saja sebagai mayat. Begitu juga dalam Tiga Kerangka agama. Jiwa adalah sumber gerak,  yang akan mengadakan suatu proses perubahan, dan bersifat kekal. Materi (maya) yang menjadi hidup dan bergerak. Keterikatan akan materi yang selalu bergerak (TRESNA), adalah sesuatu yang keliru. Tenaga (sumber gerak) adalah statis, sedang materi adalah dinamis. Tresna adalah suatu keinginan agar yang bergerak itu tidak melakukan gerak atau tidak mengalami perubahan. Oleh karena itu, tidak sewajarnya untuk diikat. Biarlah dia bergerak untuk melakukan kewajibannya sebagai materi. Keterikatan atau menghalangi sesuatu yang sudah seharusnya, akan menimbulkan suatu penderitaan atau suatu kerugian perasaan, tenaga dan materi itu sendiri. Gerak dan materi menimbulkan adanya tenaga. Tenaga akan selalu ada bila materi itu selalu bergerak. Materi itu akan selalu dapat bergerak, bila ada pengganti dari tenaga yang telah dikeluarkan. Untuk mengisi atau mengganti materi yang telah haus. Pengganti materi ada pada materi. Hal itu perlu dicari. Mencari materi pengganti perlu adanya tenaga kembali. Materi ada pada dunia (Jagat). Dunia harus digali. Materi dunia sudah didapat harus diolah oleh dunia kecil (perut). Itu juga memerlukan tenaga. Atau dikembalikan istilahnya, seperti materi dunia, sebut saja MAKANAN. Makanan dimasukkan, dan diolah diperut untuk mendapatkan sari-sari makanan (amertha). Amertha selain mengganti unsur badan yang haus, juga akan memberikan tenaga untuk mencari. Tenaga adalah suatu kekuatan untuk melebur, memelihara, dan mencipta. Tenaga adalah kekuatan yang ditimbulkan oleh materi yang bergerak. Matahari bergerak menimbulkan panas. Panas yang kuat menimbulkan adanya sinar. Panas dan nyalanya di sebut api sebagai tenaga pelebur/pembakar yang kurang kuat, memelihara yang kuat tak terbakar dari balutan yang lain (yang kuat) untuk menciptakan yang baru atau yang tak terbalut atau mencampur dengan yang mempunyai kekuatan yang lebih kuat. Panas adalah tenaga. Tenaga adalah mempunyai kesamaan istilah dengan Bhatara dan sinar (nyala)  dengan istilah Dewa. Sinar adalah suatu alat untuk menerangi kegelapan, sehingga akan dapat melihat sesuatu dengan kenyataannya. Dewa juga akan menerangi alam berpikir (manah) untuk dapat memberikan analisa yang jelas dan terang. Berpikir yang terang akan didapatkan bila kekuatan berpikir telah dapat melebur problema yang ada. Problema yang ada harus mempunyai kekuatan (kesulitan) yang dapat dipecahkan oleh kemampuan berpikir. Berpikir yang terang adalah dapat melihat kenyataan yang sebenarnya (hakekat). Berpikir adalah suatu hasil peninjauan antara dua atau lebih yang tidak sama. Berpikir adalah alat pelihat yang dapat mencari suatu hakekat dari dua hal yang tidak sama. Begitu juga dalam berpikir terhadap diri sendiri sebagai manusia yang terdiri dari dua badan, diantara yang nyata (maya) dan gaib (mistik). Begitu juga diantara dua unsur materi yang tidak sama nilainya, rupanya, bentuknya dan kondisinya, serta penggunaannya. Bagaimana agar semua unsur materiil dalam hubungan materi agar dapat melakukan dharmanya atau fungsinya, atau bagaimana mengadakan hubungan antar dua kekuatan untuk menjadi satu kesatuan baru (KONVERGENSI) (Wiswamurti).

Senin, 16 April 2012

Pengadilan Anak di Indonesia (Bagian 1)

Terminologi Pengadilan Anak dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997. Selanjutnya dapat didownload di sini

Renungan Malam Purnama di Taman Mayura (6)


Kembali lagi akan kepentingan rohani dan jasmani. Kedua sifat itu saling bertentangan, yang satu materialis yang satu mistik, atau yang satu keterikatan dan yang satu lagi kebebasan. Yang satu ingin selalu hidup di dunia, dan yang satu lagi tak mau kembali ke dunia. Kalau demikian halnya,bagaimana caranya agar dapat mengisi keduanya? Jalannya secara mudah dapat diketengahkan. Kalau ingin mengisi kepuasan bathin, kebebasan, hendaknya keterikatan akan materi itu harus dikorbankan. Kalau hendak mengisi kepentingan jasmani, sifat kerohanian harus dikorbankan. Dus berarti masih berat sebelah. Untuk itu pengertian hidup perlu mendapatkan tempat yang sewajarnya. Pikiran hendaknya harus dikendalikan oleh pengertian hidup. Mencari materi untuk apa? Mengejar kerohanian untuk apa pula? Materi adalah untuk mempertahankan hidup. Materi adalah alat untuk mempertahankan hidup agar tetap sehat. Dengan badan yang sehat berarti memelihara jiwa agar sehat. Jiwa adalah memberikan kekuatan dan kesehatan agar tetap terarah baik. Rohani memberikan pikiran yang terang dan kebahagiaan hidup. Kedua-duanya satu dengan yang lain terjalin dengan eratnya. Yang satu tidak mau berpisah dengan yang lain. Keduanya bersifat saling memelihara. Rohani tidak akan berkeberatan untuk menerima materi atau mengusahakan materi sebanyak- banyaknya, asal jangan terpengaruh atau terikat oleh materi yang banyak itu. Sifat jasmanipun hendaknya demikian. Tidak mengganggu ketentraman rohani dalam kebebasannya. Ini adalah suatu rekreasi yang silih berganti, yang satu memberi kepuasan yang lain. Dengan adanya dua perbedaan yang tidak bermusuhan satu dengan yang lain, yang satu mau saling mengalah dan sama memberikan kesempatan, sehingga kedua badan wadah itu tidak lagi saling menghalangi kehendak yang lain. Perdamaian telah terjalin dengan baik sehingga menimbulkan suatu kehidupan yang bahagia lahir bathin. Di sinilah pertemuan dari kedua yang bertentangn. Dengan adanya perdamaian dari kedua permintaan yang saling bertentangan, memberikan gerak keduanya dengan kemampuan gerak yang dimiliki. Berpikir secara ratio menemukan dharmanya, berpikir secara intuisi menemukan dharmanya. Kedua belah telah percaya dan meyakini adanya jiwatman sebagai inti hidup. Citta akan memuaskanya, sehingga satu demi satu akan terlepas dari ikatan citta. Dengan demikian, habislah karmawasana yang menjadikan badan roh, sehingga tidak lagi akan lahir kembali setelah mati. Kehidupan inilah yang disebut MUKTI, yang menerima pahala selama hidup di dunia saja, dan setelah mati, akan bersatu dengan Brahman. Dengan kedua sifat itu telah menjadi satu kesatuan yang harmonis, berarti sifat kebenaran dari TATWAMASI menjadikan suatu kehidupan yang bahagia. Kebenaran dari tattwamasi tidak hanya berlaku terhadap roh dan jasmani, tetapi juga akan berlaku pada manusia dengan JAGAT, dan juga berlaku pada kehidupan sehari-hari antara manusia satu dengan yang lainnya atau juga sifat individualis dengan sifat sosial. Hidup berdampingan yang merupakan kehidupan individu dalam masyarakat luas dan sama-sama percaya-mempercayi, harga-menghargai, mau tidak mau akan menimbulkan suatu kedamaian hidup yang tenang tentram. Dengan kehidupan yang tenang tentram akan timbul suatu kreatif yang aktif dan positif. Dengan ketentraman hidup, akan timbullah pikiran yang terang, dengan dada yang lapang. Dengan pikiran yang terang akan dapat menentukan arah yang tepat, dengan proporsi yang sebenarnya. Dengan demikian semua problem hidup akan dapat dipecahkan dan diatasi dengan mudah. Begitu juga dengan usaha mencari kepentingan hidup materi sesuai dengan perkembangan zaman yang modern, akan dapat terisi dengan sempurna. Keperluan hidup di zaman modern tidak akan menjadikan suatu alasan untuk menyalahkan kemajuan tehnik modern dengan segala penemuannya, malah akan dapat memberikan hidup yang penuh gairah. Keperluan hidup modern dengan segala kemajuannya akan benar-benar dapat bermanfaat. Apalagi telah memahami dengan secara sempurna mengenai pengertian dari DESA, KALA, PATRA, akan memberikan suatu variasi yang harmonis. Begitu juga dalam segala bidang pembangunan materi di dalam zaman pembangunan. Kembali sebagai syarat yeng harus dipenuhi oleh sifat materialis adalah agar semua materi itu memberikan suatu manfaat sebagai alat pemelihara sifat rohani dalam menuju kelepasannya. Ratio berkembang dengan pesatnya dan tidak akan menghalangi rintangannya. Pengarahan dari penemuan ratio tidak akan disalahgunakan demi kepentingan sendiri dengan menghancurkan yang lain. Inilah sebagai bukti yang nyata dari Tattwamasi. Di samping usaha yang ditujukan kearah materi hendaknya juga dapat dilaksanakan mengenai kepentingan rohani. Pengalihan sebagai rekreasinya perlu juga melaksanakan atau mengerjakan kerja rohani dengan membebaskan diri dari sifat materialistis.   Dan dengan sendirinya caranyapun akan berbeda. Bagaimana rohani itu akan dapat melaksankan dharmanya, kalau yang bersangkutan, tidak pernah melaksanakan ajaran kerohanian. Mengapa rekreasi jasmani, dengan mengisi kepentingan nafsu indrya? Kan menjadi tambah capai. Dengan ajaran kerohanian (agama) dan dengan cara-cara yang dipakai (sering disebut dengan istilah YOGA). Agama sering mempunyai interpretasi yang sempit. Sempit, karena hanya menjurus segi pemuas rohani. Namun dibalik itu AGAMA dalam pengertian yang lebih luas adalah suatu ilmu yang dapat memberikan kepuasan lahir dan kepuasan rohani. Inilah JAGATHITA atau kesejahteraan dunia, atau kesejahtraan hidup di dunia, dan MOKSA adalah kebahagiaan     di akhirat atau di alam baka atau di surga. Demikian juga mengenai ajaran Tattwamasi, tidak hanya suatu hidup berdampingan dan sekedar menghargai dan menghormati saja, namun akan lebih luas lagi, bagaimana pelaksanaanya agar dapat dirasakan oleh semua. Dari Tattwamasi akan timbul adanya YADNYA atau pengorbanan. Korban itu tidak saja berupa materi tetapi juga rohani. Tattwamasi lebih condong menjurus kepada rasa lebih mementingkan orang lain, lebih penting menyelamatkan orang lain dengan segala apa yang ada. YADNYA itu akan dapat berarti korban kalau akan dapat menyelamatkan orang yang menerima korban. Tetapi apabila korban itu akan membawa kejurang kehancuran kepada tempat berkorban, itu bukanlah korban atau YADNYA. Yadnya adalah suatu alat yang terpenting dalam membebaskan diri dari rasa keterikatan yang dapat menimbulkan rasa ketakutan. Yadnya adalah suatu alat dan sifat berani. Yadnya adalah suatu alat yang membawa kedamian dan kebahagiaan abadi (ANANDA). Yadnya bukanlah suatu sistem ekonomi. Bila korban dibawa ke pengertian EKONOMI, maka korban akan berhasil dengan kerugian rohani yaitu kejengkelan serta penyesalan. Dus berarti buahnya adalah suatu penderitaan, dan bukan suatu kebahagiaan. Sebab dari korban yang ekonomis, akan timbullah suatu pengharapan balas jasa yang lebih banyak dari tempat berkorban. Itu tidak mungkin. Sebab yang menerima yadnya adalah orang yang kemiskinan atau kekurangan. Jadi tidak mungkin akan dapat memberikan balasan, apalagi akan melebihi dari apa yang diminta. Jasa adalah suatu upah bagi yang melakukan suatu pekerjaan. Atau juga bisa disebut ganti rugi. Yang satu rugi pikiran, tenaga, yang satu rugi materi. Inilah suatu sistem tukar menukar. Itulah sebabnya hal yang demikian bukanlah korban (yadnya) namanya. Sistem tukar-menukar itu adalah suatu hasil dari persetujuan kedua belah pihak. Inilah yang disebut dari pengertian hidup berdampingan dan gotong-royong. Yang satu memberikan apa yang dimilikinya dan yang satu memberikan apa yang diperlukan. Dengan adanya ini maka akan timbul suatu pemikiran untuk selalu bekerja dengan menghasilkan suatu yang menjadi keperluan orang lain, untuk dapat berbuat jasa dan akan mendapat jasa. Kehidupan yang seperti ini akan menghidupkan suatu perputaran hidup, antara yang satu dengan yang lainnya, yang satu saling memerlukan dan saling memberi dan saling meminta. Bila hal yang seperti ini dalam hidup saling isi mengisi, akan timbul suatu warna dan tata kehidupan manusia sebagai individu dan sosial. Warna ini akan dapat dilihat dalam pengertian AGAMA seperti CATUR WARNA. Warna yang pertama yang bersifat ilmu, yang kedua keamanan perasaan materi dan tenaga. Setiap orang perlu dengan ilmu pengetahuan agar dapat memberikan sinar dalam menuju hidup yang tentram, sudah itu perlu adanya suatu keamanan dalam mencari atau melaksanakannya suatu kewajiban, dalam mencari pengisi materi, dengan tenaga yang ada. Dalam catur warna dipergunakan istilah Brahmana, sebagai pemegang ilmu ketuhanan. Ksatria, sebagai badan yang memberikan pengaturan serta keamanan.  Wesya sebagai penyalur kehidupan. Sudra sebagai tenaga dalam melayani ketiga tadi. Bila keempat ini telah dapat harmonis dalam diri sendiri atau dalam masyarakat, berarti telah menjalankan suatu kebijaksanaan Tuhan atau kebenaran hidup dalam kenyataan. Ilmu ada di otak, pemeliharaan ada pada perasaan (dada), alat untuk hidup ada di perut, tenaga ada pada anggota badan (tangan dan kaki). Jadi demikian berarti bahwa hidup sebagai  manusia harus mempunyai keempat alat untuk dapat hidup yang sempurna. Alat-alat itu seperti yang sudah dijelaskn dimuka yaitu ilmu kebenaran (ketuhanan), kemauan (rasa) materi (hidup) dan tenaga. Ilmu ada dua yatu ilmu pengetahuan kebenaran materi (ratio) dan kebenaran gaib (iratio), rasa keinginan dan kemauan, materi, jasad dan mistik, tenaga jasmani dan tenaga gaib. Kalau demikian, berarti ada budhi, citta, manah, ahamkara dan indria. Kesemuanya ada lima buah. Kelima ini sulit sekali untuk dapat dipisahkan. Namun kalau dicari perbedaannya  satu persatu akan dapat dibedakan dalam fungsi tugas kewajibannya. Kembali lagi akan saya bawa kedua badan yang ada. Citta dan budhi, menjadi satu dan ahamkara dengan indria menjadi satu pula. MANAHLAH yang menyendiri. Budhi adalah pancaran Atman di dalam Citta. Indria adalah keinginan citta yang disalurkan melalui jasmani.  Aku sebagai komandannya, sedang budhi dikomandoi oleh Atman. Keduanya saling bertentangan yang satu dengan yang lain. Keinginan citta, bila ditingkatkan ke arah kebebasan dan bila dibawa turun akan menjelma menjadi NAFSU. Aku dan Atman sama bertentangan. Sifat aku akan mempergelap pandangan pikiran dalam melihat kenyataan, sedang Atman akan memberikan pandangan pikiran menuju pandangan akan kenyataan. Indria adalah alat yang ada pada jasmani. Manah adalah pikiran yang logis. Logis berarti menyesuaikan dirinya, agar dapat memberikan kedua gerak keinginannya yang saling bertentangan. Penyesuaian ini, dengan jalan memberikan kepada setiap permintaan dengan pemikiran lebih dahulu apakah wajar atau tidak?  Apakah sesuai atau tidak? Apakah tidak merugikan salah satu yang lain? Apakah memang keperluan yang vital atau hanya sekedar untuk pemuas belaka? Bagaimana kalau diberikan, atau bagaimana kalau tidak diberikan? Apakah sesuai dengan desanya, kalanya, dan putranya? Bila kedua hal ini telah dapat dipikirkan oleh manah barulah manah akan dapat dikatakan memenuhi fungsinya atau telah dapat dikatakan logis. MANAH artinya ukuran. Manah adalah sifat dan ukuran yang tanpa pamerih. Namun keduanya dari suatu kehendak yang saling bertentangan dengan pikiran yang logis sebagai ukurannya, akan terjadi kedamaian dan keharmonisan. Namun kesemuanya akan dapat melakukan fungsi kewajibannya dengan semestinya, atau menurut dharmanya. Juga demikian dalam pengertian Catur Warna bila keempatnya itu dapat digerakkan oleh dharmanya (ATMAN) dan bukan oleh A K U, akan dapat memberikan kehidupan yang tentram damai. Bila hal itu digerakkan oleh sang AKU keadaan akan berubah menuju  sebaliknya. Kehancuran akan datang. Penderitaan akan mengikuti kenikmatan dari belakangnya. Ilmu, perasaan, materi dan tenaga akan membuat agama akan berubah menjadi khayalan dan ketidakpercayaan akan kebenaran hakekat (TUHAN) tidak ada artinya. Catur Purusartha tidak berguna lagi. Tri hita karana akan berubah fungsinya, dan tidak ketinggalan TATWAMASI sudah berarti lain hanya untuk Sang AKU. Misalnya saja ada perangsang (uang) .Uang itu akan dilihat oleh mata (indra) dan diterima oleh otak. Otak mulai berpikir. Datang AKU (Ahamkara) dan budhi. Citta meminta untuk memuaskan keinginannya. Ahamkara datang untuk menyesuaikan dengan dirinya apakah cocok atau tidak. Kalau tidak cocok akan dipandang  jelek. Budhi juga demikan. Pikiran (manah) akan bertindak. Setelah itu dipikirkan dengan betul-betul oleh manah, barulah manah memerintahkan pada indra gerak untuk berbuat atau untuk mengambil uang tersebut. Tanganlah yang berbuat. Kalau pikiran itu tidak dipengaruhi oleh sepihak, keputusan akan menjadi adil. Namun kalau salah satu yang dapat mempengaruhi, pikiran akan dibawa ke sana. Pikiran akan lebih tinggi nilai kerjanya dan akan menjadi pengertian. Pengertian adalah suatu kebijaksanaan. Kebijaksanaan adalah sifat dari TUHAN, dus berarti telah melakukan pikiran yang sama dengan Tuhan. Dengan demikian akan terbebas dan sifat pamerih. Bukanlah berarti tidak boleh menerima pahala dari setiap perbuatan. Begitu juga sifat TUHAN, bekerja merupakan suatu kewajiban. Kewajiban adalah suatu pengorbanan (Yadnya). Tuhan sama sekali tidak mengharapkan pahala dari hasil perbuatan beliau. Namun beliau mendapat Yadnya sebagai tanda bhakti dan terima kasih dari umatnya. Kadang-kadang juga beliau mendapatkan umpatan dari yang merasa tidak berhasil dalam usahanya. Namun beliau tidak akan memperhatikannya, karena beliau tidak terpengaruh oleh hasil ciptaannya. Itulah yang dinamakan YADNYA. Pengorbanan adalah merupakan suatu kewajiban. Oleh karena itu, hendaknya jangan mengharapkan balasan dari tempat berkorban. Setiap perbuatan pasti akan mendapatkan pahala. Namun dari siapa? Inilah pengertian akan kekuasaan Tuhan. Tuhan maha kasih dan penyayang dan Maha adil. Karena orang tempat berkorban itu tidak akan dapat memberikan balasan, Tuhanlah yang akan memberikan balasan, dengan melalui orang yang ketiga tanpa diketahui, melalui perbuatan juga. Tuhan seolah-olah memberikan petunjuk dan pemikiran sehingga hasil yang masih tersembunyi itu akan kelihatan dengan jelas dan menjadi kenyataan yang dapat memberikan kegembiraan yang membawa kebahagiaan (Wiswamurti)

Rabu, 11 April 2012

Renungan Malam Purnama di Taman Mayura (5)


Kembali lagi akan kepentingan rohani dan jasmani. Kedua sifat itu saling bertentangan, yang satu materialis yang satu mistik, atau yang satu keterikatan dan yang satu lagi kebebasan. Yang satu ingin selalu hidup di dunia, dan yang satu lagi tak mau kembali ke dunia. Kalau demikian halnya,bagaimana caranya agar dapat mengisi keduanya? Jalannya secara mudah dapat diketengahkan. Kalau ingin mengisi kepuasan bathin, kebebasan, hendaknya keterikatan akan materi itu harus dikorbankan. Kalau hendak mengisi kepentingan jasmani, sifat kerohanian harus dikorbankan. Dus berarti masih berat sebelah. Untuk itu pengertian hidup perlu mendapatkan tempat yang sewajarnya. Pikiran hendaknya harus dikendalikan oleh pengertian hidup. Mencari materi untuk apa?  Mengejar kerohanian untuk apa pula? Materi adalah untuk mempertahankan hidup. Materi adalah alat untuk mempertahankan hidup agar tetap sehat. Dengan badan yang sehat berarti memelihara jiwa agar sehat. Jiwa adalah memberikan kekuatan dan kesehatan agar tetap terarah baik. Rohani memberikan pikiran yang terang dan kebahagiaan hidup. Kedua-duanya satu dengan yang lain terjalin dengan eratnya. Yang satu tidak mau berpisah dengan yang lain. Keduanya bersifat saling memelihara. Rohani tidak akan berkeberatan untuk menerima materi atau mengusahakan materi sebanyak- banyaknya, asal jangan terpengaruh atau terikat oleh materi yang banyak itu. Sifat jasmanipun hendaknya demikian. Tidak mengganggu ketentraman rohani dalam kebebasannya. Ini adalah suatu rekreasi yang silih berganti, yang satu memberi kepuasan yang lain. Dengan adanya dua perbedaan yang tidak bermusuhan satu dengan yang lain, yang satu mau saling mengalah dan sama memberikan kesempatan, sehingga kedua badan wadah itu tidak lagi saling menghalangi kehendak yang lain. Perdamaian telah terjalin dengan baik sehingga menimbulkan suatu kehidupan yang bahagia lahir bathin. Di sinilah pertemuan dari kedua yang bertentangn. Dengan adanya perdamaian dari kedua permintaan yang saling bertentangan, memberikan gerak keduanya dengan kemampuan gerak yang dimiliki. Berpikir secara ratio menemukan dharmanya, berpikir secara intuisi menemukan dharmanya. Kedua belah telah percaya dan meyakini adanya jiwatman sebagai inti hidup. Citta akan memuaskanya, sehingga satu demi satu akan terlepas dari ikatan citta. Dengan demikian, habislah karmawasana yang menjadikan badan roh, sehingga tidak lagi akan lahir kembali setelah mati. Kehidupan inilah yang disebut MUKTI, yang menerima pahala selama hidup di dunia saja, dan setelah mati, akan bersatu dengan Brahman. Dengan kedua sifat itu telah menjadi satu kesatuan yang harmonis, berarti sifat kebenaran dari TATWAMASI menjadikan suatu kehidupan yang bahagia. Kebenaran dari tattwamasi tidak hanya berlaku terhadap roh dan jasmani, tetapi juga akan berlaku pada manusia dengan JAGAT, dan juga berlaku pada kehidupan sehari-hari antara manusia satu dengan yang lainnya atau juga sifat individualis dengan sifat sosial. Hidup berdampingan yang merupakan kehidupan individu dalam masyarakat luas dan sama-sama percaya-mempercayi, harga-menghargai, mau tidak mau akan menimbulkan suatu kedamaian hidup yang tenang tentram. Dengan kehidupan yang tenang tentram akan timbul suatu kreatif yang aktif dan positif. Dengan ketentraman hidup, akan timbullah pikiran yang terang, dengan dada yang lapang. Dengan pikiran yang terang akan dapat menentukan arah yang tepat, dengan proporsi yang sebenarnya. Dengan demikian semua problem hidup akan dapat dipecahkan dan diatasi dengan mudah. Begitu juga dengan usaha mencari kepentingan hidup materi sesuai dengan perkembangan zaman yang modern, akan dapat terisi dengan sempurna. Keperluan hidup di zaman modern tidak akan menjadikan suatu alasan untuk menyalahkan kemajuan tehnik modern dengan segala penemuannya, malah akan dapat memberikan hidup yang penuh gairah. Keperluan hidup modern dengan segala kemajuannya akan benar-benar dapat bermanfaat. Apalagi telah memahami dengan secara sempurna mengenai pengertian dari DESA, KALA, PATRA, akan memberikan suatu variasi yang harmonis. Begitu juga dalam segala bidang pembangunan materi di dalam zaman pembangunan. Kembali sebagai syarat yeng harus dipenuhi oleh sifat materialis adalah agar semua materi itu memberikan suatu manfaat sebagai alat pemelihara sifat rohani dalam menuju kelepasannya. Ratio berkembang dengan pesatnya dan tidak akan menghalangi rintangannya. Pengarahan dari penemuan ratio tidak akan disalahgunakan demi kepentingan sendiri dengan menghancurkan yang lain. Inilah sebagai bukti yang nyata dari Tattwamasi. Di samping usaha yang ditujukan kearah materi hendaknya juga dapat dilaksanakan mengenai kepentingan rohani. Pengalihan sebagai rekreasinya perlu juga melaksanakan atau mengerjakan kerja rohani dengan membebaskan diri dari sifat materialistis.   Dan dengan sendirinya caranyapun akan berbeda. Bagaimana rohani itu akan dapat melaksankan dharmanya, kalau yang bersangkutan, tidak pernah melaksanakan ajaran kerohanian. Mengapa rekreasi jasmani, dengan mengisi kepentingan nafsu indrya? Kan menjadi tambah capai. Dengan ajaran kerohanian (agama) dan dengan cara-cara yang dipakai (sering disebut dengan istilah YOGA). Agama sering mempunyai interpretasi yang sempit. Sempit, karena hanya menjurus segi pemuas rohani. Namun dibalik itu AGAMA dalam pengertian yang lebih luas adalah suatu ilmu yang dapat memberikan kepuasan lahir dan kepuasan rohani. Inilah JAGATHITA atau kesejahteraan dunia, atau kesejahtraan hidup di dunia, dan MOKSA adalah kebahagiaan     di akhirat atau di alam baka atau di surga. Demikian juga mengenai ajaran Tattwamasi, tidak hanya suatu hidup berdampingan dan sekedar menghargai dan menghormati saja, namun akan lebih luas lagi, bagaimana pelaksanaanya agar dapat dirasakan oleh semua. Dari Tattwamasi akan timbul adanya YADNYA atau pengorbanan. Korban itu tidak saja berupa materi tetapi juga rohani. Tattwamasi lebih condong menjurus kepada rasa lebih mementingkan orang lain, lebih penting menyelamatkan orang lain dengan segala apa yang ada. YADNYA itu akan dapat berarti korban kalau akan dapat menyelamatkan orang yang menerima korban. Tetapi apabila korban itu akan membawa kejurang kehancuran kepada tempat berkorban, itu bukanlah korban atau YADNYA. Yadnya adalah suatu alat yang terpenting dalam membebaskan diri dari rasa keterikatan yang dapat menimbulkan rasa ketakutan. Yadnya adalah suatu alat dan sifat berani. Yadnya adalah suatu alat yang membawa kedamian dan kebahagiaan abadi (ANANDA). Yadnya bukanlah suatu sistem ekonomi. Bila korban dibawa ke pengertian EKONOMI, maka korban akan berhasil dengan kerugian rohani yaitu kejengkelan serta penyesalan. Dus berarti buahnya adalah suatu penderitaan, dan bukan suatu kebahagiaan. Sebab dari korban yang ekonomis, akan timbullah suatu pengharapan balas jasa yang lebih banyak dari tempat berkorban. Itu tidak mungkin. Sebab yang menerima yadnya adalah orang yang kemiskinan atau kekurangan. Jadi tidak mungkin akan dapat memberikan balasan, apalagi akan melebihi dari apa yang diminta. Jasa adalah suatu upah bagi yang melakukan suatu pekerjaan. Atau juga bisa disebut ganti rugi. Yang satu rugi pikiran, tenaga, yang satu rugi materi. Inilah suatu sistem tukar menukar. Itulah sebabnya hal yang demikian bukanlah korban (yadnya) namanya. Sistem tukar-menukar itu adalah suatu hasil dari persetujuan kedua belah pihak. Inilah yang disebut dari pengertian hidup berdampingan dan gotong-royong. Yang satu memberikan apa yang dimilikinya dan yang satu memberikan apa yang diperlukan. Dengan adanya ini maka akan timbul suatu pemikiran untuk selalu bekerja dengan menghasilkan suatu yang menjadi keperluan orang lain, untuk dapat berbuat jasa dan akan mendapat jasa. Kehidupan yang seperti ini akan menghidupkan suatu perputaran hidup, antara yang satu dengan yang lainnya, yang satu saling memerlukan dan saling memberi dan saling meminta. Bila hal yang seperti ini dalam hidup saling isi mengisi, akan timbul suatu warna dan tata kehidupan manusia sebagai individu dan sosial. Warna ini akan dapat dilihat dalam pengertian AGAMA seperti CATUR WARNA. Warna yang pertama yang bersifat ilmu, yang kedua keamanan perasaan materi dan tenaga. Setiap orang perlu dengan ilmu pengetahuan agar dapat memberikan sinar dalam menuju hidup yang tentram, sudah itu perlu adanya suatu keamanan dalam mencari atau melaksanakannya suatu kewajiban, dalam mencari pengisi materi, dengan tenaga yang ada. Dalam catur warna dipergunakan istilah Brahmana, sebagai pemegang ilmu ketuhanan. Ksatria, sebagai badan yang memberikan pengaturan serta keamanan.  Wesya sebagai penyalur kehidupan. Sudra sebagai tenaga dalam melayani ketiga tadi. Bila keempat ini telah dapat harmonis dalam diri sendiri atau dalam masyarakat, berarti telah menjalankan suatu kebijaksanaan Tuhan atau kebenaran hidup dalam kenyataan. Ilmu ada di otak, pemeliharaan ada pada perasaan (dada), alat untuk hidup ada di perut, tenaga ada pada anggota badan (tangan dan kaki). Jadi demikian berarti bahwa hidup sebagai  manusia harus mempunyai keempat alat untuk dapat hidup yang sempurna. Alat-alat itu seperti yang sudah dijelaskn dimuka yaitu ilmu kebenaran (ketuhanan), kemauan (rasa) materi (hidup) dan tenaga. Ilmu ada dua yatu ilmu pengetahuan kebenaran materi (ratio) dan kebenaran gaib (iratio), rasa keinginan dan kemauan, materi, jasad dan mistik, tenaga jasmani dan tenaga gaib. Kalau demikian, berarti ada budhi, citta, manah, ahamkara dan indria. Kesemuanya ada lima buah. Kelima ini sulit sekali untuk dapat dipisahkan. Namun kalau dicari perbedaannya  satu persatu akan dapat dibedakan dalam fungsi tugas kewajibannya. Kembali lagi akan saya bawa kedua badan yang ada. Citta dan budhi, menjadi satu dan ahamkara dengan indria menjadi satu pula. MANAHLAH yang menyendiri. Budhi adalah pancaran Atman di dalam Citta. Indria adalah keinginan citta yang disalurkan melalui jasmani.  Aku sebagai komandannya, sedang budhi dikomandoi oleh Atman. Keduanya saling bertentangan yang satu dengan yang lain. Keinginan citta, bila ditingkatkan ke arah kebebasan dan bila dibawa turun akan menjelma menjadi NAFSU. Aku dan Atman sama bertentangan. Sifat aku akan mempergelap pandangan pikiran dalam melihat kenyataan, sedang Atman akan memberikan pandangan pikiran menuju pandangan akan kenyataan. Indria adalah alat yang ada pada jasmani. Manah adalah pikiran yang logis. Logis berarti menyesuaikan dirinya, agar dapat memberikan kedua gerak keinginannya yang saling bertentangan. Penyesuaian ini, dengan jalan memberikan kepada setiap permintaan dengan pemikiran lebih dahulu apakah wajar atau tidak?  Apakah sesuai atau tidak? Apakah tidak merugikan salah satu yang lain? Apakah memang keperluan yang vital atau hanya sekedar untuk pemuas belaka? Bagaimana kalau diberikan, atau bagaimana kalau tidak diberikan? Apakah sesuai dengan desanya, kalanya, dan putranya? Bila kedua hal ini telah dapat dipikirkan oleh manah barulah manah akan dapat dikatakan memenuhi fungsinya atau telah dapat dikatakan logis. MANAH artinya ukuran. Manah adalah sifat dan ukuran yang tanpa pamerih. Namun keduanya dari suatu kehendak yang saling bertentangan dengan pikiran yang logis sebagai ukurannya, akan terjadi kedamaian dan keharmonisan. Namun kesemuanya akan dapat melakukan fungsi kewajibannya dengan semestinya, atau menurut dharmanya. Juga demikian dalam pengertian Catur Warna bila keempatnya itu dapat digerakkan oleh dharmanya (ATMAN) dan bukan oleh A K U, akan dapat memberikan kehidupan yang tentram damai. Bila hal itu digerakkan oleh sang AKU keadaan akan berubah menuju  sebaliknya. Kehancuran akan datang. Penderitaan akan mengikuti kenikmatan dari belakangnya. Ilmu, perasaan, materi dan tenaga akan membuat agama akan berubah menjadi khayalan dan ketidakpercayaan akan kebenaran hakekat (TUHAN) tidak ada artinya. Catur Purusartha tidak berguna lagi. Tri hita karana akan berubah fungsinya, dan tidak ketinggalan TATWAMASI sudah berarti lain hanya untuk Sang AKU. Misalnya saja ada perangsang (uang) .Uang itu akan dilihat oleh mata (indra) dan diterima oleh otak. Otak mulai berpikir. Datang AKU (Ahamkara) dan budhi. Citta meminta untuk memuaskan keinginannya. Ahamkara datang untuk menyesuaikan dengan dirinya apakah cocok atau tidak. Kalau tidak cocok akan dipandang  jelek. Budhi juga demikan. Pikiran (manah) akan bertindak. Setelah itu dipikirkan dengan betul-betul oleh manah, barulah manah memerintahkan pada indra gerak untuk berbuat atau untuk mengambil uang tersebut. Tanganlah yang berbuat. Kalau pikiran itu tidak dipengaruhi oleh sepihak, keputusan akan menjadi adil. Namun kalau salah satu yang dapat mempengaruhi, pikiran akan dibawa ke sana. Pikiran akan lebih tinggi nilai kerjanya dan akan menjadi pengertian. Pengertian adalah suatu kebijaksanaan. Kebijaksanaan adalah sifat dari TUHAN, dus berarti telah melakukan pikiran yang sama dengan Tuhan. Dengan demikian akan terbebas dan sifat pamerih. Bukanlah berarti tidak boleh menerima pahala dari setiap perbuatan. Begitu juga sifat TUHAN, bekerja merupakan suatu kewajiban. Kewajiban adalah suatu pengorbanan (Yadnya). Tuhan sama sekali tidak mengharapkan pahala dari hasil perbuatan beliau. Namun beliau mendapat Yadnya sebagai tanda bhakti dan terima kasih dari umatnya. Kadang-kadang juga beliau mendapatkan umpatan dari yang merasa tidak berhasil dalam usahanya. Namun beliau tidak akan memperhatikannya, karena beliau tidak terpengaruh oleh hasil ciptaannya. Itulah yang dinamakan YADNYA. Pengorbanan adalah merupakan suatu kewajiban. Oleh karena itu, hendaknya jangan mengharapkan balasan dari tempat berkorban. Setiap perbuatan pasti akan mendapatkan pahala. Namun dari siapa? Inilah pengertian akan kekuasaan Tuhan. Tuhan maha kasih dan penyayang dan Maha adil. Karena orang tempat berkorban itu tidak akan dapat memberikan balasan, Tuhanlah yang akan memberikan balasan, dengan melalui orang yang ketiga tanpa diketahui, melalui perbuatan juga. Tuhan seolah-olah memberikan petunjuk dan pemikiran sehingga hasil yang masih tersembunyi itu akan kelihatan dengan jelas dan menjadi kenyataan yang dapat memberikan kegembiraan yang membawa kebahagiaan (Wiswamurti)