Rabu, 23 Desember 2009

Kemana lari dari penderitaan?

 
     Penderitaan yang dialami sekarang disebabkan tidak lain karena kita merasakan akan dapat mengalahkan penderitaan lahiriah dengan jalan mengisi keinginan dengan serba kemewahan dunia yang berupa kekayaan materi. Hal ini tidak mungkin, buktinya dalam kisah Mahabharata, Suhita tak dapat mengalahkan Bhisma. Bhisma sendiri akan kalah oleh senjata Srikandi. Srikandi dapat diartikan kemakmuran dan ilmu pengetahuan. Dengan pengetahuan akan keperluan hidup yang vital, mana yang merupakan keperluan untuk hiburan, dan mana untuk mengisi sifat ego itu. Hanya dengan bantuan kebijaksanaan akan dapat mengalahkannya sehingga tidak akan memaksa diri kita untuk mencari penderitaan dengan jalan mengabaikan hakekat dari kelahiran kembali ini. Kita sering bertindak seperti tindakan Duryodhana dalam mengisi permintaan Bhisma yang sedang mengalami penderitaan, sehingga untuk menyenangkan diri si peminta dan sesuai dengan pertimbangan lahiriah, maka kita akan berusaha memberikan kemewahan dunia/uang, pakaian, kendaraan, perhiasan dan sejenisnya. Akhirnya pemberian itu malah akan membuat lebih hancurnya yang diberi, dan akan menambah beban yang diderita. Inilah sebabnya Bhisma tidak mau menerima karena telah tahu apa yang akan menimpanya dengan melihat pengalaman pada waktu dia jatuh di sungai Gangga. Namun pemberian Arjuna yang berupa panah penyangga tubuhnya, itulah yang diminta oleh Bhisma, bukan kemewahan dunia. Panah adalah suatu simbul pikiran yang keluar dari kebijaksanaan yang dilandasi oleh jiwa Ketuhanan, dan berjumlah 10 (sepuluh) buah yang memiliki makna pikiran yang luas. Bila konsep pikiran ini tidak ditemukan, hanya berdasarkan pikiran lahiriah, maka mau tidak mau penderitaan itu akan makin menjadi dan tambah menyakitkan hati. Lalu pikiran selalu diarahkan untuk melamun. Kemana? Tidak akan menemukan arah, hanya penanggulangan sementara saja. 
    Menanggulangi suatu penderitaan adalah dengan jalan berani menderita. Keberanian untuk menjalani penderitaan akan ada apabila kita dapat menghayati pengertian tentang Tuhan. Dengan telah dapat menghayati pengertian ini, lalu berpikir apa yang perlu dilakukan. Kepada Tuhan tidak lain adalah bhakti, dengan sifat pengabdian yang pasrah, barulah penderitaan itu akan lenyap dengan sendirinya tanpa bekas. Hal ini dapat dicontohkan sebagai berikut : (1) Kita menangis karena perasaan kecewa yang amat sangat sehingga kita lupa dan menangis sejadi-jadinya. Pada saat itu kita teringat akan Tuhan, otomatis ingat akan diri sendiri. Masihkah tangis itu?, (2) Kita marah sejadi-jadinya karena orang itu berbuat yang menjengkelkan. Lalu waktu itu ada orang lain yang datang dengan cerita Tuhan. Kita teringat akan Tuhan, masihkah marah itu?
Inilah suatu bukti bahwa Tuhan, tempat kita berteduh yang sejuk dan nikmat. Dihadapan Tuhan pasti jiwa kita akan pasrah. Kepasrahan itu akan hilang apabila kita ingat pada orang lain, dan ingat pada rasa Aku kita dan lupa pada Tuhan, maka muncullah seribu satu kesulitan.
    Dalam kehidupan saat ini banyak sekali kita mendengar keluhan-keluhan termasuk juga diri kita sendiri yang tidak mampu mencari jalan ke luar dari permasalahan yang sedang melanda dunia ini, hal ini disebabkan tiada lain dari pikiran yang berkonsentrasi hanya pada kehidupan dunia maya ini dengan pikiran yang selalu terikat oleh sikap berpikir untuk menerima apa saja asalkan sudah bersama-sama. Di samping itu dengan penderitaan badani yang menimpa kehidupan sekarang mau tidak mau pikiran itu akan lupa kepada yang menjadi tujuan dan lupa pula mengapa terjadi seperti ini. Ini tiada lain dari pikiran yang dulu pernah terbebas dan pernah mendapat rasa tenteram dan kebahagiaan, sekarang telah pergi dan sangat jauh. Jalan berpikir yang demikian seperti jalan berpikirnya Dewi Gendari ketika anaknya telah tewas di medan laga Kuruksetra. Kita lupa pula akan arti Kuruksetra adalah suatu peleburan dari yang bersifat duniawi menjadi sifat lestari. Ini pula yang menyebabkan tumbuh kembali sifat menipu diri sendiri/menipu kebenaran dengan alasan/ungkapan bagaimana saya berbuat sekarang, sebab yang menderita adalah anak, istri, saudara, ipar saya, dan sebagainya, yang mana sebenarnya adalah suatu penipuan yang sangat halus sekali. Bila rasa sayang akan anak, istri, keluarga, dan sebagainya. Bukanlah harta yang menjadikan mereka untuk kembali baik. Bukan dengan mengisi kekurangan materinya yang membuat mereka sadar. Bukan dengan memberikan kenikmatan dia akan sadar. Bukan dengan kemewahan dunia ini, tetapi bila ingin melihat mereka sadar dan berpikir ke jalan yang bahagia tiada lain dengan memberikan suatu pengertian akan hidup yang sebenarnya, yaitu dengan membuang jauh-jauh sikap, pikiran yang menyebakan adanya penderitaan sekarang ini. Jalan itu tiada lain dengan menyadari kemampuan sendiri, pikiran dan diri sendiri sebagai makhluk Tuhan yang semuanya adalah pelaksana dari suatu pengabdian.

Jumat, 20 November 2009

Lembaga Pemasyarakatan Sebagai Sub Sistem Peradilan Pidana.




A. Posisi Lembaga Pemasyarakatan Sebagai Sub Sistem Peradilan Pidana

     Lembaga Pemasyarakatan sebagai Sub Sistem Peradilan berada dibawah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, yang mempunyai tugas dan tanggung jawab yang sama dengan sub sistem lainnya.
Sebagai Lembaga Pembinaan posisinya sangat strategis dalam merealisasikan tujuan akhir dari Sistem Peradilan Pidana, yaitu rehabilitasi dan resosialisasi pelanggar hukum, bahkan sampai kepada penanggulangan kejahatan (suppression of crime). Sebagai sebuah tahapan pemidanaan yang terakhir, sudah semestinya dalam tingkatan ini harus terdapat bermacam harapan dan tujuan dari sistem peradilan pidana terpadu yang ditopang oleh pilar-pilar proses pemidanaan dari mulai lembaga kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Harapan dan tujuan tersebut dapat saja berupa aspek pembinaan dari penghuni Lembaga Pemasyarakatan yang disebut narapidana. 
     Dalam konteks dan pengertian yang komprehensif mengenai sistem peradilan pidana yang terpadu, semestinya kesadaran aspek pembinaan yang akhirnya bermuara di Lembaga Pemasyarakatan, harus sudah timbul dan disadari sejak mulai dengan penahanan dan penyidikan, yang dilanjutkan dengan proses pendakwaan, penuntutan di tingkat lembaga kejaksaan, sampai dengan proses pemeriksaan, pembuktian, pengadilan dan pemutusan oleh hakim di pengadilan. Dalam arti bahwa sejak pertama kepolisan melakukan tindakan hukum kepada seorang tersangka, jaksa melakukan tindakan hukum pendakwaan dan penuntutan, hakim melakukan tindakan hukum pemeriksaan, pembuktian, pengadilan sampai akhirnya memutuskan, harus menyadari betul bahwa semua tindakan yang dilakukan akan mempunyai dampak dan pengaruh yang signifkan dalam upaya proses penyadaran kepada pelaku kejahatan melalui proses pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan. 

B. Sistem Pemasyarakatan sebagai Sistem Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan

     Sistem Pemasyarakatan erat kaitannya dengan pelaksanaan pidana hilang kemerdekaan yang dilatarbelakangi oleh maksud dan tujuan penjatuhan pidana. Pelaksanaan sistem hilang kemerdekaan yang berlangsung selama kurun waktu tertentu merupakan refleksi-refleksi historis dalam perkembangan falsafah Peno Koresksional dari masa ke masa. Secara singkat dapat dikatakan sejarah Pemasyarakatan memuat value oriented atau value centered, karena Sistem Pemasyarakatan itu sendiri konsisten dengan sistem nilai yang berlaku di masyarakat.         Konsepsi Pemasyarakatan, bukan semata-mata merumuskan tujuan dari pidana penjara, melainkan suatu sistem pembinaan, suatu methodology dalam bidang Treatment of Offenders. Sistem Pemasyarakatan bersifat multilateral oriented, dengan pendekatan yang berpusat kepada potensi-potensi yang ada, baik pada individu yang bersangkutan maupun yang ada di tengah-tengah masyarakat, sebagai suatu keseluruhan. Secara singkat, Sistem Pemasyarakatan merupakan bagian dari pidana pokok dalam sistem pidana hilang kemerdekaan. 
     Sistem pidana penjara mulai dikenal di Indonesia dalam Wet Boek Van Strafrecht Voor Nederland Indie, atau lebih dikenal dengan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), tepatnya pada Pasal 10 yang berbunyi : Pidana terdiri atas : (a) Pidana Pokok terdiri dari Pidana Mati, Pidana Penjara, Pidana Kurungan, Pidana Denda, Pidana Tutupan, (b) Pidana Tambahan terdiri dari : Pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, pengumuman Putusan hakim.
Sistem Pidana Penjara melahirkan Sistem Kepenjaraan yang berlandaskan kepada Reglement Penjara. Reglement Penjara sebagai instrumen penjatuhan pidana penjara memerlukan wadah atau tempat pelaksanaan yang dikenal dengan Rumah-rumah penjara. Secara etimologi kata penjara berasal dari penjoro (Jawa) yang berarti tobat atau jera.
    Istilah Pemasyarakatan secara resmi menggantikan istilah kepenjaraan sejak tanggal 27 April 1964, melalui amanat tertulis Presiden Soekarno dibacakan pada Konfrensi Dinas Para Pejabat Kepenjaraan di Lembang Bandung. Amanat ini dimaksudkan dalam rangka retooling dan reshaping dari sistem kepenjaraan yang dianggap tidak selaras dengan adanya ide Pengayoman sebagai konsepsi hukum nasional yang berkepribadian Pancasila.
Gagasan Pemasyarakatan dicetuskan pertama kali oleh Dr Sahardjo, SH, tepatnya pada tanggal 5 Juli 1963 dalam pidato penganugerahan gelar Doktor Honoris Causa di bidang ilmu hukum oleh Universitas Indonesia, dikemukakan bahwa : “ Di bawah pohon beringin pengayoman telah kami tetapkan untuk menjadi penyuluh bagi petugas dalam membina narapidana, maka tujuan pidana penjara kami rumuskan : di samping menimbulkan rasa derita, pada narapidana agar bertobat, mendidik supaya ia menjadi anggota masyarakat Indonesia yang berguna. Dengan singkat tujuan pidana penjara adalah Pemasyarakatan”. 
     Sistem Pemasyarakatan mengharuskan dirubahnya sangkar menjadi sanggar karena hanya di dalam Sanggar Pengayoman, pembinaan narapidana berdasarkan sistem pemasyarakatan dapat terwujud.
Dalam perkembangan selanjutnya pelaksanaan Sistem Pemasyarakatan semakin mantap dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Secara implisit menyatakan bahwa Sistem Pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan asas Pengayoman, persamaan perlakuaan dan pelayanan, pendidikan, penghormatan harkat dan martabat manusia, kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya derita serta terjaminnya hak untuk berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu.

C.Prisip-prinsip Pemasyarakatan

   Sebagai dasar pembinaan dari Sistem Pemasyarakatan adalah sepuluh prinsip Pemasyarakatan yaitu :
1. Ayomi dan berikan bekal hidup agar mereka dapat menjalankan peranannya sebagai warga masyarakat yang baik dan berguna.
2. Penjatuhan pidana bukan tindakan balas dendam Negara.
3. Berikan bimbingan bukan penyiksaan supaya mereka bertobat.
4. Negara tidak berhak membuat mereka menjadi lebih buruk atau jahat daripada sebelum dijatuhi pidana.
5. Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, para narapidana dan anak didik harus dikenalkan dengan dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat.
6. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana dan anak didik tidak boleh bersifat sekedar pengisi waktu, juga tidak boleh diberikan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan dinas atau kepentingan Negara sewaktu-waktu saja. Pekerjaan yang diberikan harus satu dengan pekerjaan di masyarakat dan yang menunjang usaha peningkatan produksi.
7. Bimbingan dan didikan yang diberikan kepada narapidana dan anak didik harus berdasarkan Pancasila.
8. Narapidana dan anak didik sebagai orang-orang yang tersesat adalah manusia, dan mereka harus diperlakukan sebagai manusia.
9. Narapidana dan anak didik hanya dijatuhi pidana hilang kemerdekaan sebagai salah satu derita yang dialaminya.
10. Disediakan dan dipupuk sarana-sarana yang dapat mendukung fungsi rehabilitatif, korektif dan edukatif dalam Sistem Pemasyarakatan.


Daftar Pustaka


Panjaitan, Petrus Irwan, 1995, Lembaga Pemasyarakatan Dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan

Sunaryo, Sidik, 2004, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Malang, UMM Press

Sujatno, Adi, 2004, Sistem Pemasyarakatan Indonesia (Membangun Manusia Mandiri), Jakarta, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Kehakiman dan HAM RI


Sabtu, 14 November 2009

Jenis dan Tarif Atas Jenis PNBP yang berlaku pada Dep. Hukum dan HAM mengenai Pelayanan Jasa Hukum Bidang Notariat.



    Dengan adanya penyesuaian terhadap jenis dan tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia sebagaimana telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2005 tentang Jenis dan tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2007 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2005 tentang Jenis dan tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, maka dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2009, telah diatur kembali tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, saat ini. 
  Adapun Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia menurut pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2009 meliputi : (1) Pelayanan Jasa Hukum, (2) Balai Harta Peninggalan, (3) Keimigrasian, (4) Hak Kekayaan Intelektual dan (5) Jasa Tenaga Kerja Narapidana.
  Adapun Jenis dan Tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak pelayanan jasa hukum bidang Notariat, adalah sebagai berikut :

No Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Satuan Tarif
(Rp.)
1 Pengangkatan Notaris. Per orang 1.000.000,-
2 Pengangkatan Notaris Pindahan. Per orang 1.500.000,-
3 Pemberian Penggantian Surat Keputusan Menteri tentang Pengangkatan Notaris karena hilang atau rusak. Per orang 1.000.000,-
4 Perpanjangan masa jabatan Notaris. Per orang 7.500.000,-
5 Persetujuan Perubahan data Notaris. Per orang 250.000,-
6 Pelantikan dan Penyumpahan Notaris Baru/Notaris Pengganti. Per orang 1.000.000,-
7 Pelantikan dan Penyumpahan Notaris Pindahan. Per orang 1.000.000,-


Sumber :
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2009 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.























Jenis dan Tarif atas Jenis PNBP yang berlaku pada Dep.Hukum dan HAM mengenai Pelayanan Jasa Hukum Bidang Fidusia

   Dengan adanya penyesuaian terhadap Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berlaku pada Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia sebagaimana telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2005 tentang Jenis dan tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2007 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2005 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, maka dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2009, telah diatur kembali tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, saat ini.
   Adapun Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia menurut pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2009 meliputi : (1) Pelayanan Jasa Hukum, (2) Balai Harta Peninggalan, (3) Keimigrasian, (4) Hak Kekayaan Intelektual dan (5) Jasa Tenaga Kerja Narapidana.
   Adapun Jenis dan Tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak pelayanan jasa hukum bidang Fidusia, adalah sebagai berikut :

No Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Satuan Tarif
(Rp.)
Pendaftaran Jaminan Fidusia :
1 Untuk nilai penjaminan sampai dengan Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah). Per akta 25.000,-
2 Untuk nilai penjaminan di atas Rp.50.000.000, (lima puluh juta rupiah) sampai dengan Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah). Per akta 50.000,-
3 Untuk nilai penjaminan di atas Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) sampai dengan Rp. 250.000.000,-(dua ratus lima puluh juta rupiah). Per akta 100.000,-
4 Untuk nilai penjaminan di atas Rp. 250.0000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah) sampai dengan Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah). Per akta 200.000,-
5 Untuk nilai penjaminan di atas Rp. 500.000.000, (lima ratus juta rupiah) sampai dengan Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).
Per akta 400.000,-
6 Untuk nilai penjaminan di atas Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) sampai dengan Rp.100.000.000.000,- (seratus milyar rupiah). Per akta 800.000,-
7 Untuk nilai penjaminan di atas Rp. 100.000.000.000,- (seratus milyar rupiah) sampai dengan Rp. 500.000.000.000,- (lima ratus milyar rupiah). Per akta 1.600.000,-
8 Untuk nilai penjaminan di atas Rp. 500.000.000.000,- (lima ratus milyar rupiah) sampai dengan Rp.1.000.000.000.000,- (satu trilyun rupiah). Per akta 3.200.000,-
9 Untuk nilai penjaminan di atas Rp.1.000.000.000.000,- (satu trilyun rupiah) Per akta 6.400.000,-
Permohonan perubahan hal-hal yang tercantum dalam Sertifikat Jaminan Fidusia Per permohonan 100.000,-
Penghapusan atau pencoretan Sertifikat Jaminan Fidusia Per permohonan 50.000,-
Permohonan Pergantian Sertifikat Jaminan Fidusia yang rusak atau hilang :
1 Untuk nilai penjaminan sampai dengan Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah). Per akta 25.000,-
2 Untuk nilai penjaminan di atas Rp.50.000.000, (lima puluh juta rupiah) sampai dengan Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah). Per akta 50.000,-
3 Untuk nilai penjaminan di atas Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) sampai dengan Rp. 250.000.000,-(dua ratus lima puluh juta rupiah). Per akta 100.000,-
4 Untuk nilai penjaminan di atas Rp. 250.0000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah) sampai dengan Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah). Per akta 200.000,-
5 Untuk nilai penjaminan di atas Rp. 500.000.000, (lima ratus juta rupiah) sampai dengan Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).
Per akta 400.000,-
6 Untuk nilai penjaminan di atas Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) sampai dengan Rp.100.000.000.000,- (seratus milyar rupiah). Per akta 800.000,-
7 Untuk nilai penjaminan di atas Rp. 100.000.000.000,- (seratus milyar rupiah) sampai dengan Rp. 500.000.000.000,- (lima ratus milyar rupiah). Per akta 1.600.000,-
8 Untuk nilai penjaminan di atas Rp. 500.000.000.000,- (lima ratus milyar rupiah) sampai dengan Rp.1.000.000.000.000,- (satu trilyun rupiah). Per akta 3.200.000,-
9 Untuk nilai penjaminan di atas Rp.1.000.000.000.000,- (satu trilyun rupiah) Per akta 6.400.000,-


Sumber :
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2009 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Cuti Notaris

   Menurut Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, bahwa Notaris mempunyai hak cuti. Cuti Notaris ini dapat diambil setelah Notaris menjalankan jabatan selama 2 (dua) tahun (Pasal 25 ayat (2). Selama menjalankan cuti, Notaris wajib menunjuk seorang Notaris Pengganti. 
   Hak cuti Notaris dapat diambil setiap tahun atau sekaligus untuk beberapa tahun. Setiap pengambilan cuti paling lama 5 (lima) tahun sudah termasuk perpanjangannya. Selama masa jabatan Notaris jumlah waktu cuti keseluruhan paling lama 12 (dua belas) tahun (Pasal 26 ayat (3) Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004). 
Menurut Surat Edaran Wakil Ketua Majelis Pengawas Pusat Notaris Nomor : C.MPPN.03.10-44 tanggal 19 April 2007 tentang Penunjukkan Notaris Pengganti, ditentukan hal-hal sebagai berikut :
1. Notaris mengajukan permohonan cuti secara tertulis disertai usulan penunjukkan Notaris Pengganti.
2. Notaris Pengganti yang ditunjuk wajib memenuhi syarat, yaitu :
a. Warga Negara Indonesia.
b. Berpendidikan serendah-rendahnya sarjana hukum.
c. Sehat jasmani dan rohani.
d. Tidak ada catatan criminal dari Kepolisian.
e. Telah bekerja di kantor Notaris yang bersangkutan paling sedikit 2 (dua) tahun.
f. Berumur paling rendah 27 (dua puluh tujuh) tahun.
3. Dalam permohonan cuti Notaris agar melampirkan dokumen sebagai berikut :
a. Fotocopy ijazah hokum calon Notaris Pengganti yang telah disahkan oleh perguruan tinggi yang mengeluarkan.
b. Fotocopy kartu tanda penduduk calon Notaris Pengganti yang disahkan oleh Notaris.
c. Fotocopy akta kelahiran/surat kenal lahr calon Notaris Pengganti yang disahkan oleh Notaris.
d. Fotocopy akta perkawinan/akta nikah calon Notaris Pengganti yang disahkan oleh instansi yang mengeluarkan atau oleh Notaris, bagi calon Notaris Pengganti yang sudah menikah.
e. Asli surat keterangan catatan kepolisian setempat.
f. Asli keterangan sehat jasmani calon Notaris Pengganti dari dokter rumah sakit pemerintah atau rumah sakit swasta.
g. Asli keterangan sehat rohani/jiwa calon Notaris Pengganti dari psikaiter rumah sakit pemerintah atau rumah sakit swasta.
h. Pasfoto berwarna calon Notaris Pengganti ukuran 3 x 4 cm sebanyak 4 (empat) lembar.
i. Daftar riwayat hidup.
j. Surat keterangan Notaris yang menerangkan calon Notaris Pengganti telah bekerja di kantor Notaris yang bersangkutan.
k. Membayar biaya penyumpahan Notaris Pengganti sebesar Rp. 1.000.000, (satu juta rupiah) sesuai ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2009 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.
     Permohonan cuti Notaris diajukan kepada pejabat yang berwenang, yaitu :
1. Permohonan cuti notaris dalam hal jangka waktu tidak lebih dari 6 (enam) bulan diajukan kepada Majelis Pengawas Daerah. Tembusan permohonan disampaikan
2. Permohonan cuti Notaris dalam hal jangka waktu lebih dari 6 (enam) bulan sampai dengan 1 (satu) tahun diajukan kepada Majelis Pengawas Wilayah.
3. Permohonan cuti Notaris dalam hal jangka waktu lebih dari 1 (satu) tahun diajukan kepada Majelis Pengawas Pusat.
   Permohonan cuti dapat diterima atau ditolak oleh pejabat yang berwenang memberikan izin cuti. Menurut Pasal 28 Undang-undang Nomor 30 tahun 2004, dalam keadaan mendesak, suami/isteri atau keluarga sedarah dalam garis lurus dari Notaris dapat mengajukan permohonan cuti kepada Majelis Pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004. Yang dimaksud dalam keadaan mendesak adalah apabila seorang Notaris tidak mempunyai kesempatan mengajukan permohonan cuti karena berhalangan sementara.

Sumber :

Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris

Himpunan Peraturan Perundang-undangan di Bidang Kenotariatan, Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum, Departemen Hukum dan HAM RI Tahun 2008.

Surat Edaran Wakil Ketua Majelis Pengawas Pusat Notaris Nomor : C.MPPN.03.10-44 tanggal 19 April 2007 tentang Penunjukkan Notaris Pengganti

Rabu, 11 November 2009

Sistem Peradilan Pidana Indonesia

A. Pengertian dan Tujuan Sistem Peradilan Pidana
   Istilah Criminal Justice System atau Sistem Peradilan Pidana (SPP) menunjukkan mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan dengan mempergunakan dasar “pendekatan sistem”.
   Menurut Remington dan Ohlin mengatakan :
Criminal Justice System dapat diartikan sebagai pemakaian pendekatan sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana. Sebagai suatu sistem, peradilan pidana merupakan hasil interaksi antara peraturan perundang-undangan, praktik administrasi dan sikap atau tingkah laku sosial. Pengertian sistem itu sendiri mengandung implikasi suatu proses interaksi yang dipersiapkan secara rasional dan dengan cara efisien untuk memberikan hasil tertentu dengan segala keterbatasannya.

   Hagan membedakan pengertian Criminal Justice Process dan Criminal Justice System. Criminal Justice Process adalah setiap tahap dari suatu putusan yang menghadapkan seseorang tersangka ke dalam proses yang membawanya pada penentuan pidana. Sedangkan Criminal Justice System adalah interkoneksi antar keputusan dari setiap instansi yang terlibat dalam proses peradilan pidana.
   Menurut Mardjono Reksodipoetro, Sistem Peradilan Pidana adalah sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga-lembaga : Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Pemasyarakatan terpidana. Sedangkan tujuan Sistem Peradilan Pidana adalah :
a. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan.
b. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana.
c. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya.
   Menurut Muladi, tujuan Sistem Peradilan Pidana dapat dikategorikan sebagai berikut :
a. Tujuan jangka pendek, apabila yang hendak dicapai resosialisasi dan rehabilitasi pelaku tindak pidana.
b. Tujuan jangka menengah, apabila yang hendak dicapai lebih luas yakni pengendalian dan pencegahan kejahatan dalam konteks politik kriminal (Criminal Policy).
c. Tujuan jangka panjang, apabila yang hendak dicapai adalah kesejahteraan masyarakat (social welfare) dalam konteks politik sosial (Social Policy).
   Selanjutnya menurut Muladi, bahwa Sistem Peradilan Pidana, sesuai dengan makna dan ruang lingkup sistem dapat bersifat phisik dalam arti sinkronisasi struktural (Struktural syncronization), dapat pula bersifat substansial (substancial syncronization) dan dapat pula bersifat kultural (cultural syncronization). Dalam hal sinkronisasi struktural keserempakan dan keselarasan dituntut dalam mekanisme administrasi peradilan pidana dalam kerangka hubungan antar lembaga penegak hukum. Dalam hal sinkronisasi substansial maka keserempakan ini mengandung makna baik vertikal maupun horisontal dalam kaitannya dengan hukum positif yang berlaku. Sedang sinkronisasi kultural mengandung usaha untuk selalu serempak dalam menghayati pandangan-pandangan, sikap-sikap dan falsafah yang secara menyeluruh mendasari jalannya Sistem Peradilan Pidana.
   Bertitik tolak dari tujuan Sistem Peradilan Pidana, Mardjono mengemukakan empat komponen Sistem Peradilan Pidana (Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan) diharapkan dapat bekerjasama dan dapat membentuk suatu Integrated Criminal Justice System. Apabila keterpaduan dalam bekerja sistem tidak dilakukan, diperkirakan akan terdapat tiga kerugian yaitu :
a. Kesukaran dalam menilai sendiri keberhasilan atau kegagalan masing-masing instansi sehubungan dengan tugas mereka bersama.
b. Kesulitan dalam memecahkan sendiri masalah-masalah pokok di setiap instansi (sebagai subsistem dari Sistem Peradilan Pidana).
c. Dikarenakan tanggung jawab setiap instansi sering kurang jelas terbagi maka setiap instansi tidak terlalu memperhatikan efektivitas menyeluruh dari Sistem Peradilan Pidana. 
   Menurut Muladi, Sistem Peradilan Pidana merupakan jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana materiil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana.
   Secara sederhana Sistem Peradilan Pidana dapat dipahami sebagai suatu usaha untuk menjawab pertanyaan apa tugas hukum pidana di masyarakat dan bukan sekedar bagaimana hukum pidana di dalam Undang-Undang dan bagaimana Hakim menerapkannya.
Sistem Peradilan Pidana Indonesia berlangsung melalui tiga komponen dasar sistem.
1. Susbtansi.
Merupakan hasil atau produk sistem termasuk Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981.
2. Struktur.
Yaitu lembaga-lembaga dalam sistem hukum yang terdiri dari Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan.
3. Kultur.
Yaitu bagaimana sebetulnya sistem tersebut akan diberdayakan. Dengan kata lain kultur adalah merupakan penggerak dari Sistem Peradilan Pidana.
   Berbagai pandangan mengenai Sistem Peradilan Pidana di atas memiliki dimensi yang berbeda dengan sudut pandang yang berbeda pula. Sistem Peradilan Pidana merupakan konstruksi (sosial) yang menunjukkan proses interaksi manusia (di dalamnya terdapat aparatur hukum, pengacara dan terdakwa, serta masyarakat) yang saling berkaitan dalam membangun dunia (realitas) yang mereka ciptakan.
   Sistem Peradilan Pidana sebagai suatu sistem pada dasarnya merupakan suatu open system, dalam pengertian Sistem Peradilan Pidana dalam geraknya akan selalu mengalami interface (interaksi, interkoneksi dan interdependensi) dengan lingkungannya dalam peringkat-peringkat masyarakat : ekonomi, politik, pendidikan dan teknologi serta sub sistem sub sistem dari Sistem Peradilan Pidana itu sendiri (subsystem of criminal justice system )

B. Manfaat Sistem Peradilan Pidana
   Sistem Peradilan Pidana bila diterapkan secara konsisten, konsekwen dan terpadu antara sub sistem, maka manfaat sistem peradilan pidana selain dapat mewujudkan tujuan Sistem Peradilan Pidana juga bermanfaat untuk :
1. Menghasilkan data statistik kriminal secara terpusat melalui satu pintu yaitu Polisi. Dengan data statistik kriminil tersebut dapat dimanfaatkan sebagai sarana dalam menyusun kebijakan kriminil secara terpadu untuk penanggulangan kejahatan.
2. Mengetahui keberhasilan dan kegagalan sub sistem secara terpadu dalam penanggulangan kejahatan.
3. Kedua butir 1 dan 2 tersebut dapat dijadikan bahan masukan bagi pemerintah dalam kebijakan sosial.
4. Memberikan jaminan kepastian hukum baik kepada individu maupun masyarakat.

C. Mekanisme Sistem Peradilan Pidana
   Sistem ini mulai bekerja pada saat adanya laporan adanya tindak pidana dari masyarakat, setelah itu Polisi melakukan penangkapan, seleksi, penyelidikan, penyidikan dan membuat Berita Acara Pemeriksaan. Para pelaku yang bersalah diteruskan kepada Kejaksaan, sedangkan yang tidak bersalah dikembalikan kepada masyarakat. Kemudian Jaksa mengadakan seleksi lagi terhadap pelaku dan mengadakan penuntutan dan membuat surat tuduhan. Para pelaku yang tidak bersalah dibebaskan, sedang yang bersalah diajukan ke Pengadilan. Dalam hal inipun pengadilan juga melakukan hal yang sama, artinya yang tidak terbukti bersalah dibebaskan, sedang yang terbukti melakukan tindak pidana diserahkan ke Lembaga Pemasyarakatan sebagai instansi terakhir yang melakukan pembinaan terhadap narapidana.
   Di dalam Sistem Peradilan Pidana terdapat adanya suatu input-process-output. Adapun yang dimaksud dengan input adalah laporan/pengaduan tentang terjadinya tindak pidana. Process adalah sebagai tindakan yang diambil pihak Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan. Sedangkan output adalah hasil-hasil yang diperoleh.
   Sebagai suatu sistem maka di dalam mekanismenya adanya suatu syarat yang harus dipenuhi yaitu adanya kerjasama di antara sub sistem. Apabila salah satu sub sistem tidak berjalan sebagaimana mestinya, maka hal itu akan mengganggu sistem secara keseluruhan. Oleh karena itu, keempat sub sistem itu memiliki hubungan yang erat satu dengan yang lainnya.

Daftar Pustaka
Abdussalam, H.R, dan DPM Sitompul, Sistem Peradilan Pidana, Jakarta, Restu Agung

Panjaitan, Petrus Irwan, dan Pandapotan Simorangkir, 1995, Lembaga Pemasyarakatan Dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan.

Sunaryo, Sidik, 2004, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Malang, UMM Press.

Susanto, Anthon F, 2004, Wajah Peradilan Kita (Konstruksi Sosial tentang Penyimpangan, Mekanisme Kontrol dan Akuntabilitas Peradilan Pidana), Bandung, Refika Aditama.




Sabtu, 31 Oktober 2009

Butir-butir Spiritualitas (Bagian 1)

  Inilah beberapa upaya-upaya yang patut dilakukan baik sebagai individu, anggota keluarga/rumah tangga maupun sebagai anggota masyarakat untuk meningkatkan spiritualitas dalam kehidupan ini sehingga apa yang menjadi tujuan dalam kehidupan ini yaitu kebahagiaan lahir dan bathin tercapai. 

1. Keharmonisan hidup dalam keluarga merupakan kunci utama/dasar untuk menuju pada kebahagiaan. Orang tidak bahagia sekarang karena kunci dasarnya mati. Utamakan keselamatan keluarga. Jika suami senang sendiri mewah sendiri, tanpa mau tahu anak dan isteri, tidak akan mendapatkan kunci itu. Semua anggota keluarga harus mengutamakan keselamatan keluarga.

2. Sifat Ego manusia menyebabkan tidak tahu kewajiban hidup, dan mengambil kewajiban orang lain. Ini yang menyebabkan mengapa terjadinya benturan-benturan yang tidak menentu. Manusia sulit sekali menemukan ketentraman. Dengan mengerti dan melaksanakan kewajiban hidup, hidup ini tidak akan pernah membawa kejengkelan atau kekecewaan. Banyak yang suka mencampuri kewajiban orang lain. Dengan mengerti kewajiban hidup akan memberikan gairah hidup, dan otomotis akan menemukan kebahagiaan.

3. Sesuatu bisa baik apabila ada pada tempatnya, dan menjadi tidak baik apabila ditempatkan bukan pada tempatnya.

4. Suatu kodrat bahwa manusia dilahirkan dengan segala kekurangan yang ada pada dirinya. Dengan demikian setiap orang akan berusaha untuk memenuhi kekurangannya. Setiap mahkluk hidup selalu berjuang untuk memenuhi kekurangannya. Kekurangan itu ada dua yaitu kekurangan yang bersifat biologis/bersifat badani dan kekurangan yang bersifat rohani.. Contoh kekurangan rohani : merasa menderita, tidak percaya diri. Kalau manusia hanya berpikir dari kekurangan biologis, manusia mengalami kejenuhan dan kekosongan.

5. Setiap orang akan tahu keperluan dirinya apabila mereka mengerti dirinya sehinga akan tahu dirinya. Kapan mereka tahu dirinya? Apabila mereka telah percaya pada dirinya. Kapan mereka percaya pada dirinya? Jawabannya adalah apabila mereka meyakini bahwa mereka bersumber pada Tuhan. Dengan demikian barulah akan tahu keperluan hidupnya. Bila manusia tidak percaya pada dirinya, lalu apa yang dilakukannya? Apakah untuk kepentingan orang lain. Kalau untuk kepentingan dirinya harus bertanya dulu pada dirinya sendiri. Manusia harus tahu seleranya sendiri, demikian pula model dan kegunaannya, sehingga akan dapat memeliharanya dan mengaturnya dengan baik. Singkatnya apa yang dimiliki hendaknya mendapat perhatian yang sungguh-sungguh, tetapi karena demi kepentingan orang lain, bagaimana mungkin akan mendapat kepuasan? Manusia selalu merasa kurang dalam dirinya. Jika sekarang mereka merasa kurang dalam keadaan berlebihan karena mereka berbuat demi orang lain.

6. Dalam hidup ini banyak kesulitan. Orang-orang yang berpikir tradisional akan mengalami kesedihan. Menyerah pada kesulitan akan menimbulkan sifat iri dan fitnah sehingga terjadi benturan-benturan dalam kehidupan. Orang yang paling kecewa di dunia ini adalah orang-orang yang takut menghadapi kesulitan. Makin tinggi cita-cita seseorang makin besar kesulitan yang akan dialaminya.

7. Tuntutan zaman menuntut setiap manusia untuk hidup layak. Oleh karena itu dalam bekerja dan berpikir agar melatih diri untuk hidup berdasarkan tahapan-tahapan sehingga nanti terbiasa menghadapi kesulitan.

8. Melalui kreativitas dari setiap pribadi untuk meningkatkan hidup atau kariernya, tidak lagi membuat hidup ini penuh ketergantungan pada orang lain.

9. Orang yang pamerih tidak mau menerima kenyataan-kenyataan, dan ia pasti kecewa. Dengan sifat pamerih akan banyak menjumpai kekecewaan, sebab harapan lebih tinggi daripada kenyataan. Orang-orang yang demikian penuh dengan kesengsaraan/penderitaan. Di dalam petunjuk agama, manusia tidak dibenarkan untuk pamerih kepada siapapun. Jika sampai muncul perasaan itu, kejengkelan dan kekecewaan akan mengisi jiwanya sehingga kondisi jiwa tidak akan normal. Dari sinilah muncul pikiran-pikiran kotor yang memasuki jiwa itu sehingga penderitaan akan semakin dalam. Jangan pamerih, lebih banyak berbuat. Dengan tanpa pamerih, dapat disadari hukum karma selalu bekerja. Pamerih berarti menentang hukum karma. Terimalah kenyataan, dan tidak menghindari.

10. Makin tinggi pemikiran manusia, makin tinggi pula pemikirannya tentang kehidupan. Manusia menyepelekan hal-hal yang kecil. Justru orang sekarang terpeleset pada hal-hal yang sepele yang akan menggagalkan perencanaan hidupnya. Jika orang sekarang gagal dalam mencapai kedamaian, karena tidak menghargai perbedaan itu dan tidak mengetahui kewajiban hidupnya masing-masing.

Jumat, 30 Oktober 2009

Tata Cara Memperoleh Kewarganegaraan RI berdasarkan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia


     Menurut Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 : “Warga negara asing yang kawin secara sah dengan Warga Negara Indonesia dapat memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia dengan menyampaikan pernyataan menjadi warga negara di hadapan Pejabat. Selanjutnya dalam pasal 19 ayat (2) menentukan : “Pernyataan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan apabila yang bersangkutan sudah bertempat tinggal di wilayah negara Republik Indonesia paling singkat 5 (lima) tahun berturut-turut atau paling singkat 10 (sepuluh) tahun tidak berturut-turut, kecuali dengan perolehan kewarganegaraan tersebut mengakibatkan kewarganegaraan ganda. Dalam hal yang bersangkutan tidak memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia yang diakibatkan oleh kewarganegaraan ganda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2), yang bersangkutan dapat diberi izin tinggal tetap sesuai dengan peraturan perundang-undangan.  
    Selanjutnya ketentuan tentang tata cara menyampaikan pernyataan menjadi Warga Negara Indonesia sebagaimana dimaksud pada pasal 19 ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Nomor M.02-HL.05.06 Tahun 2006 tentang Tata Cara Menyampaikan Pernyataan Untuk Menjadi Warga Negara Indonesia, sebagai berikut :
1. Mengajukan permohonan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia diatas materai enam ribu rupiah sesuai dengan format yang telah ditentukan, diajukan ke Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM setempat dengan melampirkan :
2. Fotokopi kutipan akte kelahiran pemohon yang disahkan oleh pejabat yang berwenang;
3. Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atau surat keterangan tempat tinggal Pemohon yang disahkan oleh pejabat yang berwenang ;
4. Fotokopi kutipan akte kelahiran dan Kartu Tanda Penduduk Warga Negara Indonesia suami atau istri pemohon yang disahkan oleh pejabat yang berwenang;
5. Fotokopi kutipan akte perkawinan/buku nikah pemohon dan suami atau isteri yang disahkan oleh pejabat yang berwenang;
6. Surat Keterangan dari Kantor Imigrasi di tempat tinggal Pemohon yang menerangkan bahwa Pemohon telah bertempat tinggal di Indonesia paling singkat 5 (lima) tahun berturut-turut atau paling singkat 10 (sepuluh) tahun tidak berturut-turut;
7. Surat Keterangan Catatan Kepolisian dari Kepolisian tempat tinggal Pemohon;
8. Surat keterangan dari perwakilan negara Pemohon yang menerangkan bahwa setelah Pemohon memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia, ia kehilangan kewarganegaraan negara yang bersangkutan.
9. Pernyataan tertulis bahwa Pemohon akan setia kepada Negara kesatuan Republik Indonesia, Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan akan membelanya dengan sungguh-sungguh serta akan menjalankan kewajiban yang dibebankan negara kepadanya sebagai Warga Negara Indonesia dengan tulus ikhlas;
10. Pas foto Pemohon terbaru berwarna ukuran 4x6 sebanyak 6 (enam) lembar.
   Selanjutnya Membayar Biaya PNBP pewarganegaraan berdasarkan perkawinan (Pasal 19 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006) sebesar Rp. 2.500.000,- ( dua juta lima ratus ribu rupiah), sesuai Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 tahun 2009 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang berlaku Pada Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.


Minggu, 25 Oktober 2009

Mengapa ada yang percaya dan tidak percaya kepada Tuhan?


  Setelah mengikuti perkembangan ratio di zaman sekarang ini kita sangat kagum sekali. Daya berpikir manusia begitu pesatnya. Apa yang dirasakan dulu tidak mungkin dapat dijangkau oleh kecerdasan akal manusia, sekarang telah menjadi kenyataan, dengan sumbangan pikiran, yang diamalkan melalui sarana kemanusiaan, seperti pabrik-pabrik besar, industri-industri besar dan modern.
  Keperluan hidup dapat memberikan gairah untuk mempertahankan hidup terus menerus. Dunia telah kebanjiran dengan serba ragam keperluan hidup dari yang antik sampai dengan ultra modern. Hubungan antar daerah, antar satu negara dengan negara lain yang menjadi dekat dan mudah. Persaudaran umat yang berjauhan dapat dilaksanakan dengan mudah. Dunia menjadi semakin sempit. Komunikasi udarapun demikian. Pemikiran telah berubah. Demikian pula kebudayaan dan tata kehidupan tidak ketinggalan. Perubahan tata kehidupan dan kebudayaan demikian pesatnya sebagai akibat dari penemuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang modern.     Dengan melihat kenyataan yang demikian itu, tidak heran kalau pandangan akan kebenaran hidup akan berubah pula. Saat ini orang-orang sangat mengagung-agungkan ilmu pengetahuan yang rasional, dan itu adalah merupakan kewajaran. Mengapa?. Ini tiada lain dari suatu pengaruh pikiran yang sering didengung-dengungkan, bahwa akal manusia tidak akan mencapai apa yang belum pernah dilihat dengan dalih bahwa semuanya itu adalah takdir. Ke bulan tidak mungkin, kenyataannya bisa. Bebicara jarak jauh hanya monopoli orang yang mempelajari ilmu kebathinan, namun ilmu pengetahuan juga dapat menunjukkan kemampuannya. Ini merupakan revanse dari pengetahuan yang terlalu meninjau dari satu segi saja. Revanse terhadap semua kepercayaan yang bersifat gaib. Dengan bangkitnya ilmu pengetahuan itu yang dapat membangkitkan dan membuktikan kemampuannya untuk menyelidiki kabut yang masih terselimut oleh ketahyulan. Ini pula yang menyebabkan mengapa dunia terbagi dua, yaitu antara yang masih percaya dengan adanya Tuhan dan yang tidak percaya dengan adanya Tuhan. Mengapa terjadi yang demikian ini?. Ini tiada lain karena kesalahan dari kedua belah pihak yang secara membuta mempertahankan kebenaran dirinya masing-masing. Atau mana yang salah dan mana yang benar?
  Untuk membahas hal tersebut pikiran diarahkan kepada ajaran Tri Hita Karana. Sebab dari kesejahteran itu ada tiga. Ketiga itu adalah Tuhan, Manusia dan Jagat (alam). Kalau susunannya demikian bahwa semua kelahiran itu berasal dari Tuhan. Tuhan sebagai tenaga penggerak. Manusia dan makhluk lainnya merupakan isi yang diciptakan oleh Tuhan untuk mengisi Jagat (alam) ini. Jagat adalah merupakan wadah tempat hidup dan mencari kehidupan. Kalau itu adalah wadah maka dapat diambil suatu pengertian bahwa itu adalah materi. Tuhan adalah jiwa sedangkan manusia adalah alat begerak.
   Manusia memiliki Dwi Sarira yaitu Stula sarira (jasmani sebagai badan wadah) dan Suksma sarira (sebagai badan roh). Kalau ada dua badan tentu ada isinya. Isinya adalah Atman, atau Brahman atau Tuhan. Oleh karena itu sering disebut juga dengan Tri Sarira, yaitu Stula sarira, Suksma sarira dan Atman Karana. Atman karana sebagai sumber hidup yang menjadi sebab manusia itu hidup. Tanpa itu manusia tidak bisa hidup. Jadi jelas bahwa bukan roh saja yang hidup namun jasmanipun hidup. Roh juga badan yang mempunyai sifat gaib yang tidak dapat dijangkau oleh alat indria. Jasmani adalah badan kasar yang dapat dilihat langsung. Kalau ingin melihat badan roh hendaknya dapat menghentikan aktivitas dari badan jasmani. Begitu juga bila akan melihat Atman hentikan gerak dan aktivitas dari kedua badan yang membalutnya. Hal ini dalam agama Hindu disebut telah mencapai Samadhi, yang artinya dapat berhadapan langsung dengan Brahman atau Tuhan. Bila masih terikat dengan wadah yang membungkusnya dengan sendirinya akan sulit melihat apa isi yang sebenarnya. Melihat yang nyata harus mempergunakan yang nyata pula dan melihat yang tidak nyata dengan yang tidak nyata pula. Atman menjiwai badan roh sehingga menjadi hidup. Roh menjiwai badan jasmani sehingga menjadi hidup dan dapat begerak. Bila ditinggalkan oleh roh, manusia dikatakan mati.
   Kalau di dunia ini boleh juga dipandang sesuai dengan ajaran Tri Hita Karana. Tuhan adalah Atman akan menjiwai manusia sebagai badan roh dan akan menjiwai Jagat sebagai badan jasmani. Hubungan yang terdekat dari dunia adalah manusia. Wajarlah manusia akan dapat mengetahui segala unsur yang terdapat di Jagat ini dengan pengetahuan yang didapat oleh organ-organ jasmaninya. Pengetahuan ini yang disebut rasionil. Bila dalam kata agama Hindu disebut dengan pengetahuan Wijnana. Pengetahuan ini tidak memerlukan alam kesadaran tetapi sangat memerlukan alam kecerdasan akal yang merupakan salah satu organ dalam jasmani. Segala bahan-bahan yang menjadi perhatian dari ratio adalah yang berupa materi dengan kekuatan gerak (dari materi itu sendiri). Ini sering disebut dengan kekuatan listrik atau magnetnya.
Jadi bila ilmu pengetahuan dunia ini mengagung-agungkan hasil penemuannya demi kesejahteraan lahir umat manusia bahkan seluruh makhluk di dunia, itu adalah suatu hal yang sangat wajar. Malah hal itu hendaknya diberikan suatu spirit agar dapat menemukan materi yang masih terpendam agar dapat memberikan atau mengisi kebutuhan hidup manusia yang berjasmani. Di sini akan kelihatan akan salah dan benar kalau selalu berpikir dari satu segi saja.
   Bila dikembalikan dengan adanya ajaran supaya tidak percaya dengan adanya Tuhan mungkin disebabkan oleh adanya larangan yang sangat membatasi perkembangan ratio daripada pengembang ajaran komunis itu. Mungkin kalau perkembangan dari ilmu pengetahuan itu tidak ditekan, malah dilarang, mungkin tidak ada ajaran yang melarang orang percaya dengan adanya Tuhan. Hal ini merupakan hal yang wajar pula (Cuplikan dari “Renungan Malam Purnama di Taman Mayura” oleh Wiswamurti).

Kamis, 22 Oktober 2009

Silsilah Gusti Sastra


         Menurut sumber yang ada berupa lontar yang disimpan oleh sesepuh kami di Balepunduk Kelod Dauh Toya Desa Tegalinggah Kecamatan Karangasem Kabupaten Karangasem, bahwa salah satu putra Gusti Sastra adalah Sang Hyang Marep Kangin. Sang Hyang Marep Kangin menurunkan Gusti Perasi. Gusti Perasi menurunkan Gusti Banjar Kangin, Gusti Banjar Kangin menurunkan Gusti Timrah. Gusti Timrah selanjutnya menurunkan Gusti Sadha yang bertempat tinggal di Balepatus Karangasem. Gusti Sadha menurunkan Gusti Cengol. Gusti Cengol menurunkan Gusti Warthi. Gusti Warthi mempunyai 3 (tiga) orang putra yaitu Gusti Sudantha, Gusti Pojar dan Gusti Manuaba. Gusti Sudantha yang bertempat tinggal di Tegal Karangasem Balepatus diangkat menjadi Perbekel oleh Ida Anak Agung Puri Karangasem pada tahun Caka 1752 dengan wilayah kerja Bangle, Tanguwang, Siledumi, dan Susuan Banjar Kauh. Selanjutnya Gusti Pojar dan Gusti Manuaba meninggalkan Balepatus Karangasem menuju dan bertempat tinggal di Balepunduk Kelod Dauh Toya sejak Tahun Caka 1756 yang ditugaskan oleh Ida Anak Agung Puri Karangasem untuk merawat sawah/tegalan milik Ida Anak Agung sekaligus menjadi Pekaseh. Dari Gusti Sudantha, Gusti Pojar dan Gusti Manuaba melahirkan sentana di Balepatus Karangasem dan Balepunduk Kelod Dauh Toya Desa Tegallinggah Kecamatan Karangasem Kabupaten Karangasem, dan sebagian sentananya kini mencari penghidupan di wilayah Cakranegara Kota Mataram Nusa Tenggara Barat.
       Semua sentana mengakui Arya Sastra sebagai leluhur yang patut dipuja dan dihormati sehingga para sentananya mendapat perlindungan. Para sentana telah beberapa kali melaksanakan sraddha dan bhakti ke Pura Dalem Agung Sri Nararya Kresna Kepakisan Klungkung Bali.