Jumat, 20 November 2009

Lembaga Pemasyarakatan Sebagai Sub Sistem Peradilan Pidana.




A. Posisi Lembaga Pemasyarakatan Sebagai Sub Sistem Peradilan Pidana

     Lembaga Pemasyarakatan sebagai Sub Sistem Peradilan berada dibawah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, yang mempunyai tugas dan tanggung jawab yang sama dengan sub sistem lainnya.
Sebagai Lembaga Pembinaan posisinya sangat strategis dalam merealisasikan tujuan akhir dari Sistem Peradilan Pidana, yaitu rehabilitasi dan resosialisasi pelanggar hukum, bahkan sampai kepada penanggulangan kejahatan (suppression of crime). Sebagai sebuah tahapan pemidanaan yang terakhir, sudah semestinya dalam tingkatan ini harus terdapat bermacam harapan dan tujuan dari sistem peradilan pidana terpadu yang ditopang oleh pilar-pilar proses pemidanaan dari mulai lembaga kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Harapan dan tujuan tersebut dapat saja berupa aspek pembinaan dari penghuni Lembaga Pemasyarakatan yang disebut narapidana. 
     Dalam konteks dan pengertian yang komprehensif mengenai sistem peradilan pidana yang terpadu, semestinya kesadaran aspek pembinaan yang akhirnya bermuara di Lembaga Pemasyarakatan, harus sudah timbul dan disadari sejak mulai dengan penahanan dan penyidikan, yang dilanjutkan dengan proses pendakwaan, penuntutan di tingkat lembaga kejaksaan, sampai dengan proses pemeriksaan, pembuktian, pengadilan dan pemutusan oleh hakim di pengadilan. Dalam arti bahwa sejak pertama kepolisan melakukan tindakan hukum kepada seorang tersangka, jaksa melakukan tindakan hukum pendakwaan dan penuntutan, hakim melakukan tindakan hukum pemeriksaan, pembuktian, pengadilan sampai akhirnya memutuskan, harus menyadari betul bahwa semua tindakan yang dilakukan akan mempunyai dampak dan pengaruh yang signifkan dalam upaya proses penyadaran kepada pelaku kejahatan melalui proses pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan. 

B. Sistem Pemasyarakatan sebagai Sistem Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan

     Sistem Pemasyarakatan erat kaitannya dengan pelaksanaan pidana hilang kemerdekaan yang dilatarbelakangi oleh maksud dan tujuan penjatuhan pidana. Pelaksanaan sistem hilang kemerdekaan yang berlangsung selama kurun waktu tertentu merupakan refleksi-refleksi historis dalam perkembangan falsafah Peno Koresksional dari masa ke masa. Secara singkat dapat dikatakan sejarah Pemasyarakatan memuat value oriented atau value centered, karena Sistem Pemasyarakatan itu sendiri konsisten dengan sistem nilai yang berlaku di masyarakat.         Konsepsi Pemasyarakatan, bukan semata-mata merumuskan tujuan dari pidana penjara, melainkan suatu sistem pembinaan, suatu methodology dalam bidang Treatment of Offenders. Sistem Pemasyarakatan bersifat multilateral oriented, dengan pendekatan yang berpusat kepada potensi-potensi yang ada, baik pada individu yang bersangkutan maupun yang ada di tengah-tengah masyarakat, sebagai suatu keseluruhan. Secara singkat, Sistem Pemasyarakatan merupakan bagian dari pidana pokok dalam sistem pidana hilang kemerdekaan. 
     Sistem pidana penjara mulai dikenal di Indonesia dalam Wet Boek Van Strafrecht Voor Nederland Indie, atau lebih dikenal dengan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), tepatnya pada Pasal 10 yang berbunyi : Pidana terdiri atas : (a) Pidana Pokok terdiri dari Pidana Mati, Pidana Penjara, Pidana Kurungan, Pidana Denda, Pidana Tutupan, (b) Pidana Tambahan terdiri dari : Pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, pengumuman Putusan hakim.
Sistem Pidana Penjara melahirkan Sistem Kepenjaraan yang berlandaskan kepada Reglement Penjara. Reglement Penjara sebagai instrumen penjatuhan pidana penjara memerlukan wadah atau tempat pelaksanaan yang dikenal dengan Rumah-rumah penjara. Secara etimologi kata penjara berasal dari penjoro (Jawa) yang berarti tobat atau jera.
    Istilah Pemasyarakatan secara resmi menggantikan istilah kepenjaraan sejak tanggal 27 April 1964, melalui amanat tertulis Presiden Soekarno dibacakan pada Konfrensi Dinas Para Pejabat Kepenjaraan di Lembang Bandung. Amanat ini dimaksudkan dalam rangka retooling dan reshaping dari sistem kepenjaraan yang dianggap tidak selaras dengan adanya ide Pengayoman sebagai konsepsi hukum nasional yang berkepribadian Pancasila.
Gagasan Pemasyarakatan dicetuskan pertama kali oleh Dr Sahardjo, SH, tepatnya pada tanggal 5 Juli 1963 dalam pidato penganugerahan gelar Doktor Honoris Causa di bidang ilmu hukum oleh Universitas Indonesia, dikemukakan bahwa : “ Di bawah pohon beringin pengayoman telah kami tetapkan untuk menjadi penyuluh bagi petugas dalam membina narapidana, maka tujuan pidana penjara kami rumuskan : di samping menimbulkan rasa derita, pada narapidana agar bertobat, mendidik supaya ia menjadi anggota masyarakat Indonesia yang berguna. Dengan singkat tujuan pidana penjara adalah Pemasyarakatan”. 
     Sistem Pemasyarakatan mengharuskan dirubahnya sangkar menjadi sanggar karena hanya di dalam Sanggar Pengayoman, pembinaan narapidana berdasarkan sistem pemasyarakatan dapat terwujud.
Dalam perkembangan selanjutnya pelaksanaan Sistem Pemasyarakatan semakin mantap dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Secara implisit menyatakan bahwa Sistem Pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan asas Pengayoman, persamaan perlakuaan dan pelayanan, pendidikan, penghormatan harkat dan martabat manusia, kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya derita serta terjaminnya hak untuk berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu.

C.Prisip-prinsip Pemasyarakatan

   Sebagai dasar pembinaan dari Sistem Pemasyarakatan adalah sepuluh prinsip Pemasyarakatan yaitu :
1. Ayomi dan berikan bekal hidup agar mereka dapat menjalankan peranannya sebagai warga masyarakat yang baik dan berguna.
2. Penjatuhan pidana bukan tindakan balas dendam Negara.
3. Berikan bimbingan bukan penyiksaan supaya mereka bertobat.
4. Negara tidak berhak membuat mereka menjadi lebih buruk atau jahat daripada sebelum dijatuhi pidana.
5. Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, para narapidana dan anak didik harus dikenalkan dengan dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat.
6. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana dan anak didik tidak boleh bersifat sekedar pengisi waktu, juga tidak boleh diberikan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan dinas atau kepentingan Negara sewaktu-waktu saja. Pekerjaan yang diberikan harus satu dengan pekerjaan di masyarakat dan yang menunjang usaha peningkatan produksi.
7. Bimbingan dan didikan yang diberikan kepada narapidana dan anak didik harus berdasarkan Pancasila.
8. Narapidana dan anak didik sebagai orang-orang yang tersesat adalah manusia, dan mereka harus diperlakukan sebagai manusia.
9. Narapidana dan anak didik hanya dijatuhi pidana hilang kemerdekaan sebagai salah satu derita yang dialaminya.
10. Disediakan dan dipupuk sarana-sarana yang dapat mendukung fungsi rehabilitatif, korektif dan edukatif dalam Sistem Pemasyarakatan.


Daftar Pustaka


Panjaitan, Petrus Irwan, 1995, Lembaga Pemasyarakatan Dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan

Sunaryo, Sidik, 2004, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Malang, UMM Press

Sujatno, Adi, 2004, Sistem Pemasyarakatan Indonesia (Membangun Manusia Mandiri), Jakarta, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Kehakiman dan HAM RI


Sabtu, 14 November 2009

Jenis dan Tarif Atas Jenis PNBP yang berlaku pada Dep. Hukum dan HAM mengenai Pelayanan Jasa Hukum Bidang Notariat.



    Dengan adanya penyesuaian terhadap jenis dan tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia sebagaimana telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2005 tentang Jenis dan tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2007 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2005 tentang Jenis dan tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, maka dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2009, telah diatur kembali tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, saat ini. 
  Adapun Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia menurut pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2009 meliputi : (1) Pelayanan Jasa Hukum, (2) Balai Harta Peninggalan, (3) Keimigrasian, (4) Hak Kekayaan Intelektual dan (5) Jasa Tenaga Kerja Narapidana.
  Adapun Jenis dan Tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak pelayanan jasa hukum bidang Notariat, adalah sebagai berikut :

No Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Satuan Tarif
(Rp.)
1 Pengangkatan Notaris. Per orang 1.000.000,-
2 Pengangkatan Notaris Pindahan. Per orang 1.500.000,-
3 Pemberian Penggantian Surat Keputusan Menteri tentang Pengangkatan Notaris karena hilang atau rusak. Per orang 1.000.000,-
4 Perpanjangan masa jabatan Notaris. Per orang 7.500.000,-
5 Persetujuan Perubahan data Notaris. Per orang 250.000,-
6 Pelantikan dan Penyumpahan Notaris Baru/Notaris Pengganti. Per orang 1.000.000,-
7 Pelantikan dan Penyumpahan Notaris Pindahan. Per orang 1.000.000,-


Sumber :
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2009 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.























Jenis dan Tarif atas Jenis PNBP yang berlaku pada Dep.Hukum dan HAM mengenai Pelayanan Jasa Hukum Bidang Fidusia

   Dengan adanya penyesuaian terhadap Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berlaku pada Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia sebagaimana telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2005 tentang Jenis dan tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2007 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2005 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, maka dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2009, telah diatur kembali tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, saat ini.
   Adapun Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia menurut pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2009 meliputi : (1) Pelayanan Jasa Hukum, (2) Balai Harta Peninggalan, (3) Keimigrasian, (4) Hak Kekayaan Intelektual dan (5) Jasa Tenaga Kerja Narapidana.
   Adapun Jenis dan Tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak pelayanan jasa hukum bidang Fidusia, adalah sebagai berikut :

No Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Satuan Tarif
(Rp.)
Pendaftaran Jaminan Fidusia :
1 Untuk nilai penjaminan sampai dengan Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah). Per akta 25.000,-
2 Untuk nilai penjaminan di atas Rp.50.000.000, (lima puluh juta rupiah) sampai dengan Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah). Per akta 50.000,-
3 Untuk nilai penjaminan di atas Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) sampai dengan Rp. 250.000.000,-(dua ratus lima puluh juta rupiah). Per akta 100.000,-
4 Untuk nilai penjaminan di atas Rp. 250.0000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah) sampai dengan Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah). Per akta 200.000,-
5 Untuk nilai penjaminan di atas Rp. 500.000.000, (lima ratus juta rupiah) sampai dengan Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).
Per akta 400.000,-
6 Untuk nilai penjaminan di atas Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) sampai dengan Rp.100.000.000.000,- (seratus milyar rupiah). Per akta 800.000,-
7 Untuk nilai penjaminan di atas Rp. 100.000.000.000,- (seratus milyar rupiah) sampai dengan Rp. 500.000.000.000,- (lima ratus milyar rupiah). Per akta 1.600.000,-
8 Untuk nilai penjaminan di atas Rp. 500.000.000.000,- (lima ratus milyar rupiah) sampai dengan Rp.1.000.000.000.000,- (satu trilyun rupiah). Per akta 3.200.000,-
9 Untuk nilai penjaminan di atas Rp.1.000.000.000.000,- (satu trilyun rupiah) Per akta 6.400.000,-
Permohonan perubahan hal-hal yang tercantum dalam Sertifikat Jaminan Fidusia Per permohonan 100.000,-
Penghapusan atau pencoretan Sertifikat Jaminan Fidusia Per permohonan 50.000,-
Permohonan Pergantian Sertifikat Jaminan Fidusia yang rusak atau hilang :
1 Untuk nilai penjaminan sampai dengan Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah). Per akta 25.000,-
2 Untuk nilai penjaminan di atas Rp.50.000.000, (lima puluh juta rupiah) sampai dengan Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah). Per akta 50.000,-
3 Untuk nilai penjaminan di atas Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) sampai dengan Rp. 250.000.000,-(dua ratus lima puluh juta rupiah). Per akta 100.000,-
4 Untuk nilai penjaminan di atas Rp. 250.0000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah) sampai dengan Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah). Per akta 200.000,-
5 Untuk nilai penjaminan di atas Rp. 500.000.000, (lima ratus juta rupiah) sampai dengan Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).
Per akta 400.000,-
6 Untuk nilai penjaminan di atas Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) sampai dengan Rp.100.000.000.000,- (seratus milyar rupiah). Per akta 800.000,-
7 Untuk nilai penjaminan di atas Rp. 100.000.000.000,- (seratus milyar rupiah) sampai dengan Rp. 500.000.000.000,- (lima ratus milyar rupiah). Per akta 1.600.000,-
8 Untuk nilai penjaminan di atas Rp. 500.000.000.000,- (lima ratus milyar rupiah) sampai dengan Rp.1.000.000.000.000,- (satu trilyun rupiah). Per akta 3.200.000,-
9 Untuk nilai penjaminan di atas Rp.1.000.000.000.000,- (satu trilyun rupiah) Per akta 6.400.000,-


Sumber :
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2009 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Cuti Notaris

   Menurut Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, bahwa Notaris mempunyai hak cuti. Cuti Notaris ini dapat diambil setelah Notaris menjalankan jabatan selama 2 (dua) tahun (Pasal 25 ayat (2). Selama menjalankan cuti, Notaris wajib menunjuk seorang Notaris Pengganti. 
   Hak cuti Notaris dapat diambil setiap tahun atau sekaligus untuk beberapa tahun. Setiap pengambilan cuti paling lama 5 (lima) tahun sudah termasuk perpanjangannya. Selama masa jabatan Notaris jumlah waktu cuti keseluruhan paling lama 12 (dua belas) tahun (Pasal 26 ayat (3) Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004). 
Menurut Surat Edaran Wakil Ketua Majelis Pengawas Pusat Notaris Nomor : C.MPPN.03.10-44 tanggal 19 April 2007 tentang Penunjukkan Notaris Pengganti, ditentukan hal-hal sebagai berikut :
1. Notaris mengajukan permohonan cuti secara tertulis disertai usulan penunjukkan Notaris Pengganti.
2. Notaris Pengganti yang ditunjuk wajib memenuhi syarat, yaitu :
a. Warga Negara Indonesia.
b. Berpendidikan serendah-rendahnya sarjana hukum.
c. Sehat jasmani dan rohani.
d. Tidak ada catatan criminal dari Kepolisian.
e. Telah bekerja di kantor Notaris yang bersangkutan paling sedikit 2 (dua) tahun.
f. Berumur paling rendah 27 (dua puluh tujuh) tahun.
3. Dalam permohonan cuti Notaris agar melampirkan dokumen sebagai berikut :
a. Fotocopy ijazah hokum calon Notaris Pengganti yang telah disahkan oleh perguruan tinggi yang mengeluarkan.
b. Fotocopy kartu tanda penduduk calon Notaris Pengganti yang disahkan oleh Notaris.
c. Fotocopy akta kelahiran/surat kenal lahr calon Notaris Pengganti yang disahkan oleh Notaris.
d. Fotocopy akta perkawinan/akta nikah calon Notaris Pengganti yang disahkan oleh instansi yang mengeluarkan atau oleh Notaris, bagi calon Notaris Pengganti yang sudah menikah.
e. Asli surat keterangan catatan kepolisian setempat.
f. Asli keterangan sehat jasmani calon Notaris Pengganti dari dokter rumah sakit pemerintah atau rumah sakit swasta.
g. Asli keterangan sehat rohani/jiwa calon Notaris Pengganti dari psikaiter rumah sakit pemerintah atau rumah sakit swasta.
h. Pasfoto berwarna calon Notaris Pengganti ukuran 3 x 4 cm sebanyak 4 (empat) lembar.
i. Daftar riwayat hidup.
j. Surat keterangan Notaris yang menerangkan calon Notaris Pengganti telah bekerja di kantor Notaris yang bersangkutan.
k. Membayar biaya penyumpahan Notaris Pengganti sebesar Rp. 1.000.000, (satu juta rupiah) sesuai ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2009 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.
     Permohonan cuti Notaris diajukan kepada pejabat yang berwenang, yaitu :
1. Permohonan cuti notaris dalam hal jangka waktu tidak lebih dari 6 (enam) bulan diajukan kepada Majelis Pengawas Daerah. Tembusan permohonan disampaikan
2. Permohonan cuti Notaris dalam hal jangka waktu lebih dari 6 (enam) bulan sampai dengan 1 (satu) tahun diajukan kepada Majelis Pengawas Wilayah.
3. Permohonan cuti Notaris dalam hal jangka waktu lebih dari 1 (satu) tahun diajukan kepada Majelis Pengawas Pusat.
   Permohonan cuti dapat diterima atau ditolak oleh pejabat yang berwenang memberikan izin cuti. Menurut Pasal 28 Undang-undang Nomor 30 tahun 2004, dalam keadaan mendesak, suami/isteri atau keluarga sedarah dalam garis lurus dari Notaris dapat mengajukan permohonan cuti kepada Majelis Pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004. Yang dimaksud dalam keadaan mendesak adalah apabila seorang Notaris tidak mempunyai kesempatan mengajukan permohonan cuti karena berhalangan sementara.

Sumber :

Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris

Himpunan Peraturan Perundang-undangan di Bidang Kenotariatan, Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum, Departemen Hukum dan HAM RI Tahun 2008.

Surat Edaran Wakil Ketua Majelis Pengawas Pusat Notaris Nomor : C.MPPN.03.10-44 tanggal 19 April 2007 tentang Penunjukkan Notaris Pengganti

Rabu, 11 November 2009

Sistem Peradilan Pidana Indonesia

A. Pengertian dan Tujuan Sistem Peradilan Pidana
   Istilah Criminal Justice System atau Sistem Peradilan Pidana (SPP) menunjukkan mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan dengan mempergunakan dasar “pendekatan sistem”.
   Menurut Remington dan Ohlin mengatakan :
Criminal Justice System dapat diartikan sebagai pemakaian pendekatan sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana. Sebagai suatu sistem, peradilan pidana merupakan hasil interaksi antara peraturan perundang-undangan, praktik administrasi dan sikap atau tingkah laku sosial. Pengertian sistem itu sendiri mengandung implikasi suatu proses interaksi yang dipersiapkan secara rasional dan dengan cara efisien untuk memberikan hasil tertentu dengan segala keterbatasannya.

   Hagan membedakan pengertian Criminal Justice Process dan Criminal Justice System. Criminal Justice Process adalah setiap tahap dari suatu putusan yang menghadapkan seseorang tersangka ke dalam proses yang membawanya pada penentuan pidana. Sedangkan Criminal Justice System adalah interkoneksi antar keputusan dari setiap instansi yang terlibat dalam proses peradilan pidana.
   Menurut Mardjono Reksodipoetro, Sistem Peradilan Pidana adalah sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga-lembaga : Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Pemasyarakatan terpidana. Sedangkan tujuan Sistem Peradilan Pidana adalah :
a. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan.
b. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana.
c. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya.
   Menurut Muladi, tujuan Sistem Peradilan Pidana dapat dikategorikan sebagai berikut :
a. Tujuan jangka pendek, apabila yang hendak dicapai resosialisasi dan rehabilitasi pelaku tindak pidana.
b. Tujuan jangka menengah, apabila yang hendak dicapai lebih luas yakni pengendalian dan pencegahan kejahatan dalam konteks politik kriminal (Criminal Policy).
c. Tujuan jangka panjang, apabila yang hendak dicapai adalah kesejahteraan masyarakat (social welfare) dalam konteks politik sosial (Social Policy).
   Selanjutnya menurut Muladi, bahwa Sistem Peradilan Pidana, sesuai dengan makna dan ruang lingkup sistem dapat bersifat phisik dalam arti sinkronisasi struktural (Struktural syncronization), dapat pula bersifat substansial (substancial syncronization) dan dapat pula bersifat kultural (cultural syncronization). Dalam hal sinkronisasi struktural keserempakan dan keselarasan dituntut dalam mekanisme administrasi peradilan pidana dalam kerangka hubungan antar lembaga penegak hukum. Dalam hal sinkronisasi substansial maka keserempakan ini mengandung makna baik vertikal maupun horisontal dalam kaitannya dengan hukum positif yang berlaku. Sedang sinkronisasi kultural mengandung usaha untuk selalu serempak dalam menghayati pandangan-pandangan, sikap-sikap dan falsafah yang secara menyeluruh mendasari jalannya Sistem Peradilan Pidana.
   Bertitik tolak dari tujuan Sistem Peradilan Pidana, Mardjono mengemukakan empat komponen Sistem Peradilan Pidana (Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan) diharapkan dapat bekerjasama dan dapat membentuk suatu Integrated Criminal Justice System. Apabila keterpaduan dalam bekerja sistem tidak dilakukan, diperkirakan akan terdapat tiga kerugian yaitu :
a. Kesukaran dalam menilai sendiri keberhasilan atau kegagalan masing-masing instansi sehubungan dengan tugas mereka bersama.
b. Kesulitan dalam memecahkan sendiri masalah-masalah pokok di setiap instansi (sebagai subsistem dari Sistem Peradilan Pidana).
c. Dikarenakan tanggung jawab setiap instansi sering kurang jelas terbagi maka setiap instansi tidak terlalu memperhatikan efektivitas menyeluruh dari Sistem Peradilan Pidana. 
   Menurut Muladi, Sistem Peradilan Pidana merupakan jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana materiil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana.
   Secara sederhana Sistem Peradilan Pidana dapat dipahami sebagai suatu usaha untuk menjawab pertanyaan apa tugas hukum pidana di masyarakat dan bukan sekedar bagaimana hukum pidana di dalam Undang-Undang dan bagaimana Hakim menerapkannya.
Sistem Peradilan Pidana Indonesia berlangsung melalui tiga komponen dasar sistem.
1. Susbtansi.
Merupakan hasil atau produk sistem termasuk Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981.
2. Struktur.
Yaitu lembaga-lembaga dalam sistem hukum yang terdiri dari Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan.
3. Kultur.
Yaitu bagaimana sebetulnya sistem tersebut akan diberdayakan. Dengan kata lain kultur adalah merupakan penggerak dari Sistem Peradilan Pidana.
   Berbagai pandangan mengenai Sistem Peradilan Pidana di atas memiliki dimensi yang berbeda dengan sudut pandang yang berbeda pula. Sistem Peradilan Pidana merupakan konstruksi (sosial) yang menunjukkan proses interaksi manusia (di dalamnya terdapat aparatur hukum, pengacara dan terdakwa, serta masyarakat) yang saling berkaitan dalam membangun dunia (realitas) yang mereka ciptakan.
   Sistem Peradilan Pidana sebagai suatu sistem pada dasarnya merupakan suatu open system, dalam pengertian Sistem Peradilan Pidana dalam geraknya akan selalu mengalami interface (interaksi, interkoneksi dan interdependensi) dengan lingkungannya dalam peringkat-peringkat masyarakat : ekonomi, politik, pendidikan dan teknologi serta sub sistem sub sistem dari Sistem Peradilan Pidana itu sendiri (subsystem of criminal justice system )

B. Manfaat Sistem Peradilan Pidana
   Sistem Peradilan Pidana bila diterapkan secara konsisten, konsekwen dan terpadu antara sub sistem, maka manfaat sistem peradilan pidana selain dapat mewujudkan tujuan Sistem Peradilan Pidana juga bermanfaat untuk :
1. Menghasilkan data statistik kriminal secara terpusat melalui satu pintu yaitu Polisi. Dengan data statistik kriminil tersebut dapat dimanfaatkan sebagai sarana dalam menyusun kebijakan kriminil secara terpadu untuk penanggulangan kejahatan.
2. Mengetahui keberhasilan dan kegagalan sub sistem secara terpadu dalam penanggulangan kejahatan.
3. Kedua butir 1 dan 2 tersebut dapat dijadikan bahan masukan bagi pemerintah dalam kebijakan sosial.
4. Memberikan jaminan kepastian hukum baik kepada individu maupun masyarakat.

C. Mekanisme Sistem Peradilan Pidana
   Sistem ini mulai bekerja pada saat adanya laporan adanya tindak pidana dari masyarakat, setelah itu Polisi melakukan penangkapan, seleksi, penyelidikan, penyidikan dan membuat Berita Acara Pemeriksaan. Para pelaku yang bersalah diteruskan kepada Kejaksaan, sedangkan yang tidak bersalah dikembalikan kepada masyarakat. Kemudian Jaksa mengadakan seleksi lagi terhadap pelaku dan mengadakan penuntutan dan membuat surat tuduhan. Para pelaku yang tidak bersalah dibebaskan, sedang yang bersalah diajukan ke Pengadilan. Dalam hal inipun pengadilan juga melakukan hal yang sama, artinya yang tidak terbukti bersalah dibebaskan, sedang yang terbukti melakukan tindak pidana diserahkan ke Lembaga Pemasyarakatan sebagai instansi terakhir yang melakukan pembinaan terhadap narapidana.
   Di dalam Sistem Peradilan Pidana terdapat adanya suatu input-process-output. Adapun yang dimaksud dengan input adalah laporan/pengaduan tentang terjadinya tindak pidana. Process adalah sebagai tindakan yang diambil pihak Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan. Sedangkan output adalah hasil-hasil yang diperoleh.
   Sebagai suatu sistem maka di dalam mekanismenya adanya suatu syarat yang harus dipenuhi yaitu adanya kerjasama di antara sub sistem. Apabila salah satu sub sistem tidak berjalan sebagaimana mestinya, maka hal itu akan mengganggu sistem secara keseluruhan. Oleh karena itu, keempat sub sistem itu memiliki hubungan yang erat satu dengan yang lainnya.

Daftar Pustaka
Abdussalam, H.R, dan DPM Sitompul, Sistem Peradilan Pidana, Jakarta, Restu Agung

Panjaitan, Petrus Irwan, dan Pandapotan Simorangkir, 1995, Lembaga Pemasyarakatan Dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan.

Sunaryo, Sidik, 2004, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Malang, UMM Press.

Susanto, Anthon F, 2004, Wajah Peradilan Kita (Konstruksi Sosial tentang Penyimpangan, Mekanisme Kontrol dan Akuntabilitas Peradilan Pidana), Bandung, Refika Aditama.