Senin, 26 Desember 2011

Menjelajahi Mahabharata (2) : “ Teladan yang diberikan oleh Durgandini”.

Lain halnya Raja Basuparicara. Istrinya adalah Girika yaitu iman yang teguh seperti gunung yang tak goyah oleh suatu gangguan, untuk dapat mencapai kesadaran sehingga dapat membebaskan dirinya dari kelahiran kembali. Dari anak yang kelahirannya tak terduga akibat daripada suatu ingatan akan keinginan yang perlu mendapat pemuasan lahiriah Dewi Durgandini dan Matsyapati.

Mengapa saya nyatakan suatu kelahiran yang tak terduga ialah tak lain di mana Raja Basuparicara pada waktu berburu di hutan dan pada waktu itu dia ingat akan istrinya Girika sehingga menimbulkan suatu keinginan untuk hidup berkumpul. Dengan tidak disadarinya sperma (benih lelaki) keluar dengan sendirinya. Melihat kenyataan itu maka sperma yang jatuh itu dipungut dan diberikan pada seekor burung untuk membawanya. Namun sayang, begitu melewati sungai Yamuna sperma itu jatuh dan dimakan oleh seekor ikan besar. Ikan itu ditemukan oleh seorang juru pencar (penangkap ikan) yang bernama Dasabala.

Dari ikan itu lahirlah Durgandini dan Matsyapati. Durgandini adalah seorang anak perempuan yang berbau amis sehingga untuk pemeliharaannya diserahkan kepada Dasabala. Sedangkan Matsyapati karena roman yang sangat tampan dipelihara di istana dan dididik langsung oleh Raja Basuparicara. Setelah Durgandini diserahkan kepada Dasabala, Durgandini disuruh melakukan pekerjaan menjadi tukang sampan di Kali Yamuna. Bagawan Parasara menemukanya, dan langsung melamarnya. Namun sebelum dijadikan isteri, diobatinya lebih dahulu sehingga bau amisnya telah berganti dengan bau harum semerbak, dan namanya diganti dengan nama Diah Satyawati Sayojanagandi. Setelah itu barulah diambil menjadi isteri, dan lahirlah Bhagawan Wyasa.

Bila kita menanggapi sampai di sini dulu, kita akan dapat mengambil suatu yang tersembunyi dari nama-nama yang tersebut tadi. Tubuh kita ini tidak terdiri dari hanya yang kelihatan sebagai jasmani saja tetapi seperti apa yang diajarkan bahwa tubuh kita ini terdiri dari dua (dwi sarira) yaitu badan wadah (jasmani = stula sarira) dan badan halus (suksma sarira-roh). Dengan melihat dari pengetahuan akan roh maka akan dapat kita menanggapi bahwa badan suksma itu tiada lain daripada apa yang disebut Citta. Citta itu tiada lain dari pada karmawasana atau sering juga disebut cubha-acubha karma . Atau lebih jelasnya tiada lain daripada apa yang disebut pahala dari karma-karma, baik yang sekala ataupun niskala, lahirlah dan rohaniah. Jadi jelaslah apa yang dibawa oleh Durgandini itu tak lain daripada citta atau karmawasana yang tidak terpuaskan. Inilah yang menyebabkan bau busuk. Itu berarti bahwa tiada seorangpun akan senang kepadanya. Tiada seorangpun akan senang kalau semua hasil karma-karma yang mereka perbuat akan mendapatkan pahala yang tidak baik, sebab merupakan bibit permulaan adanya kelahiran kembali ke dunia. Itu pula yang menyebabkan adanya penderitaan. Namun tiada seorangpun yang dapat melepaskan dirinya dari padanya. Begitu juga apa yang dibawa oleh Durgandini. Oleh karena itu pula yang menjadi sebab diserahkannya kepada Dasabala. Dasabala ialah dasendrya yang menyebabkan adanya dasa mala. Indria kita yang ada itu yang berjumlah sepuluh yang menyebabkan adanya penderitaan, berupa suka duka yang akan berkumpul pada citta. Citta yang menyebabkan adanya tumimbal lahir terus menerus. Walaupun demikian, sesuatunya itu akan dapat ditebus dengan amal bhakti yang secara tekun dengan tidak mengharapkan akan pahala (tan pamerih), dalam menyelamatkan orang lain.

Begitulah apa yang dapat kita ambil dari teladan yang diberikan oleh Durgandini agar kita mau melebur dosa-dosa yang membuat penderitaan hidup ini dengan karma-karma baik yang dilandasi oleh pikiran bhakti yang tulus ikhlas di dalam menolong orang-orang yang benar-benar memerlukannya. Dengan cara itu akan dapat menyelamatkan orang lain tanpa pengharapan pembalasan. Dengan pekerjaan menyeberangkan orang lain sebagai nelayan akhirnya dia akan dapat berjumpa dengan Parasara sebagai penolong dirinya dari bau amis dan akan berakhir dengan bau harum semerbak yang menjadi idaman setiap insan dengan nama Diah Satyawati Sayojanagandi. Di samping itu juga dapat menemukan suami yang suci dan yang dapat melahirkan seorang putra yang dihormati yaitu Wyasa. Oleh karena itu hendaknya janganlah kita merasa ragu-ragu akan diri kita sekarang, walau bagaimana juapun keadaannya, terhina sekalipun. Bila mau akan memperbaikinya tiada lain dengan bekerja giat dan tekun serta dengan senang hati melakukan pengorbanan (Yadnya) dengan tidak mengikatkan diri pada pahalanya terlebih dahulu, dengan sendirinya semua penyebab dari penderitaan itu akan lenyap dan akan berganti dengan suatu kehidupan baru yang penuh dengan kesejahteraan lahir bathin, sehingga menimbulkan suatu kekuatan baru untuk ingin hidup terus. (Menjelajahi Mahabharata Ke-1,”Bagaimana Mendidik Bayi ini?, oleh I.N. Sika WM, 1975)

Senin, 10 Oktober 2011



Menjelajahi Mahabharata (1) "Penyebab kelahiran ke dunia"

    Hyang Brahma mengadakan sidang pertemuan antara para dewa pengisi sorga. Dalam persidangan itu bertiuplah angin yang sangat kencang sekali, yang menyebabkan terjadi di luar acara sidang. Pakaian Dewi Gangga tersingkap sehingga kelihatan tubuhnya yang sangat menarik nafsu birahi. Melihat hal yang demikian semua dewa-dewa pada tunduk, agar jangan memalukan sang Dewi. Namun Dewa Mahabisa bahkan sebaliknya, dan sangat memperhatikannya dengan seksama. Melihat perbuatan kedua dewa itu marahlah Hyang Brahma dan memerintahkan agar keduanya lahir ke dunia. Dewi Gangga lahir ke dunia dengan nama Dewi Gangga di tepi sungai Gangga dan Dewa Mahabisa dengan nama Shantanu, sebagai putra Raja Pratipa. Pada waktu Raja Pratipa berburu, berjumpa dengan Dewi Gangga. Namun karena Dewi Gangga waktu diemban duduk pada paha kanan, oleh karena salah duduk itu menyebabkan Dewi Gangga tidak jadi diambil menjadi isteri, namun akan dijadikan menantu. Dan pada waktu itu atas permohonan Dewi gangga, dia tetap akan muda, dan kedua segala keinginannya tidak akan ditolak. Raja Pratipa pergi bertapa, yang menjadi raja adalah Shantanu. Pada suatu waktu beliau berburu, dan berjumpa dengan Dewi Gangga. Permintaan Dewi Gangga agar raja tidak akan menolak segala perbuatannya. Raja Shantanu setuju, dan terjadilah perkawinan antara Dewi Gangga dengan Shantanu. Dari perkawinannya lahirlah Bhisma.
    Bila kita menanggapi kejadian itu maka kita dibawa berpikir kepada suatu sebab dari adanya kelahiran (punarbhawa). Sebab-sebab dari adanya kelahiran ialah karena adanya karmawasana yang menjadi badan roh (Atma), yang mempunyai suatu keinginan-keinginan yang harus dipenuhi. Karmawasana tiada lain daripada karma-karma di dunia ini yang belum dapat dipenuhinya (sancitta). Untuk memenuhinya itu tiada jalan lain daripada harus lahir kembali ke dunia. Sesuatunya itu tak akan dapat dicari di alam sana. Tetapi bila ditelaah jalan ceritanya akan kemarahan daripada Dewa Brahma itu tiada lain sesuatu yang dicari tidak ada di sorga. Untuk memenuhi daripada keinginan-keinginan akan sesuatu yang bersifat maya harus dicari di dunia maya. Oleh karena itu Dewa Mahabisa harus dilahirkan ke dunia dengan nama Shantanu putera Raja Pratipa.
   Shantanu mempunyai suatu pengertian orang yang harus damai di dunia untuk mendapatkannya/mencarinya di dunia. Tetapi dalam hal ini akan saya andaikan sebagai manusia yang hidup. Jadi berarti bahwa hidup manusia berasal dari Dewa Mahabisa, yang tahu segala-galanya. Tetapi oleh karena kesadarannya telah hiang yang disebabkan oleh keingian-keinginan kita akan suatu kenikmatan maya, akhirnya menjadi lupa karenanya, yang menyebabkan tergelincir ke jurang kenistaan (neraka). Lahirlah dengan tangis penyesalan, begitu juga Dewi Gangga yang tidak tahu menyembunyikan kenikmatan yang ada pada dirinya dan dengan gelora nafsunya, sehingga mau memperlihatkan dirinya untuk memberi kesempatan kepada yang lupa diri yang hanya di bawah kekuasaan nafsu indria. Karena bukan tempatnya di sana, terpaksa juga harus lahir ke dunia lagi.
    Dewi Gangga dapat pula diandaikan dengan suatu kenikmatan yang ada pada dunia. Dengan kelahiran kedua Dewa itu ke dunia maka akan bertemulah antara yang hidup (manusia) dengan pengisi kehidupan Dewi Gangga atau keperluan hidup. Atau lebih sempit lagi boleh pula diartikan dengan sandang pangan. Setelah mereka lahir ke dunia disebabkan oleh kesalahan penempatan diri dari Dewi Gangga akan dijadikan anak menantu. Isteri adalah merupakan sakti atau kekuatan atau wadah dan bukan merupakan hasil dari suatu karma melainkan karma itu sendiri. Oleh karena itu pula alasan yang dipakai oleh Pratipa untuk tidak menjadikannya sebagai isteri tetapi akan diberikan kepada anaknya yang merupakan hasil dari karma (perbuatan) yang langsung (Menjelajahi Mahabharata Ke-1,”Bagaimana Mendidik Bayi ini? , oleh I.N. Sika WM, 1975).

Rabu, 15 Juni 2011

Butir-butir Spiritual (bagian 2)

1.Manusia sekarang terbius pada reklame. Jiwa mengalami kekosongan sehingga kita mudah terombang-ambing. Jiwa yang kosong tidak pernah berpikir apa yang sebenarnya. Perilaku berpura-pura. Kekosongan jiwa mengakibatkan kita tidak bisa percaya diri. Pembicaraan, ibarat permainan sandiwara. Banyak manusia yang gila. Yang menjadi sumber penyebab adalah kekecewaan yang sangat berat. Sifat ego yang meninggi. Manusia mengalami kompensasi. Kebanyakan orang sekarang, belum muncul pertanyaan dalam dirinya : “Apa yang harus saya lakukan untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik?”. Manusia tidak punya arah. Kehidupan yang tidak mempunyai asas manfaat. Sifat ego muncul karena adanya kekurangan di dalam diri. Sifat ego (AKU) tidak punya pengertian. AKU adalah penyebab utama ketegangan-ketegangan yang terjadi. Manusia harus meyakini dirinya sendiri untuk menentukan arah hidupnya. Jika keyakinan tidak ada, kehidupan ini ibarat layang-layang putus. Keyakinan ada dalam diri apabila jiwa berketuhanannya tinggi. Dengan adanya keyakinan dan kepercayaan dalam diri maka timbullah perjuangan manusia itu sendiri.
2. Perilaku sekarang adalah perilaku sebaliknya, artinya orang yang meninggi adalah orang yang rendah. Orang yang merendah adalah orang yang tinggi. Orang yang merendah merasa bobot dirinya berat, lalu untuk apa meninggi? Orang yang meninggi karena bobot dirinya ringan.
3. Yang paling disenangi sekarang adalah mode lain, sebagai akibat dari kekosongan jiwa/tidak percaya pada diri sendiri.
4. Rasa kekeluargaan mempunyai peranan penting untuk menuju kebahagiaan manusia. Kekeluargaan sangat menentukan untuk itu. Rasa kekeluargaan perlu dimantapkan dengan jalan : jangan saling suka menyalahan; sifat menjatuhkan adalah perbuatan sifat ego. Jika ini masih ada penderitaan hidup harus dialami. Sifat aku harus ditanggalkan. Kalau ada yang salah, diperingati, yang diperingati jangan merasa dibenci. Hal ini dilakukan demi kebersamaan dalam tanggung jawab. Sekarang rasa bahagia berubah menjadi senang, ingin memuaskan nafsu. Rasa senang sebenarnya salah bagi orang-orang yang mendambakan ketentraman hidup/kepuasan. Puas yang tidak bisa diuangkapkan. Jangan suka bicara soal senang.
5. Anak-anak yang over kompensasi, di rumah jadi budak dan di jalan jadi raja.
6. Cerita akhir perang Mahabharata. Pandawa menang, dan Korawa kalah. Yang menang (Pandaw) menanggung akibat dari peperangan tersebut. Artinya, di dalam kehidupan keluarga, ketentraman keluarga merupakan sumber kehidupan. Karena kehendak zaman, keluarga tercerai berai. Timbullah bermacam-macam konsep dalam kehidupan, yang pada akhirnya digolongkan ke dalam 2 (dua) konsep yaitu : (a) konsep yang memilih Pandawa, yang mengutamakan keluhuran budi/ketentraman bathin, dan (b) konsep yang memilih Korawa, yang mengutamakan duniawi. Sebenarnya dalam perpecahan keluarga tidak perlu ada pikiran-pikiran. Karena tidak mengerti, akhirnya loba, supaya keluarga juga baik. Inilah sifat Butakala. Akibatnya lebih banyak cenderung pada aliran kiri (Korawa). Orang yang berbudi luhur, tidak benar berpikir demikian. Inilah menjadi kemelut dalam kehidupan. Namun ini adalah kehendak zaman/dunia. Manusia sekarang kebanyakan tidak tahu diri. Siapakah sebenarnya pribadimu? Pertanyaan itu tidak bisa dijawab.
7. Konsep ketaatan tidak tergotahkan oleh pengaruh kiri dan kanan. Untuk mencari yang demikian sulit, karena banyak gangguan-gangguan, dan yang paling menonjol adalah gangguan dari sifat Salya, Aswathama (dalam cerita Mahabharata) dan Sukasrana (dalam cerita Ramayana). Kehidupan manusia terbelenggu pada hal-hal yang tidak menguntungkan. Tuhan telah menghendaki bahwa persoalan hidup harus selesai, dengan ketentuan hukum pihak Korawa harus kalah dan Pandawa/Ayodya harus menang. Suatu kekuatan, siapapun tidak bisa menolaknya, dan harus menerimanya. Yang tidak menghayati, tidak akan mendapatkan kehidupan yang dicita-citakan. Mengapa terjadi demikian? Karena Tuhan masih bersama kita. Kalau dikaitkan dengan cerita akhir perang Mahabharata, pada waktu Arjuna disuruh turun dari kereta oleh Krsihna. Krishna berkata : ”Hai, Adinda Arjuna, kamu ingin membuktikan, sebenarnya dulu sudah hancur, tetapi kamu merasakan kereta ini tidak pernah apa-apa. Karena AKU duduk di sini. Arjuna turun, lihat......... Kemudian Krishna turun, kereta dan umbul-umbul menjadi abu. Ini perlu dihayati.