Kamis, 22 Juli 2010

Penanganan Hak Kekayaan Intelektual Industri Kecil di Pulau Lombok berbasiskan Pengetahuan Tradisional atas Hak Cipta (Bagian 2)



Dalam hal ini khusus pengetahuan tradisional untuk Tenun Sasak sudah diupayakan perlindungannya dengan Hak Cipta. 16 (enam belas) motif Sasak sudah mendapat sertifikat Hak Cipta dari Ditjen HaKI, sedangkan 40 (empat puluh) motif lainnya masih dalam proses.

Menurut penjelasan dari Pengelola Sentra HKI Bumi Gora NTB Dinas Perindustrian dan Perdagangan NTB pernah ada 1 (satu) pengetahuan tradisional yang didaftarkan oleh Pemerintah Daerah NTB yaitu Ceret Maling (gerabah) namun ternyata ditolak pendaftarannya, dengan alasan tempat minum dari tanah itu dimiliki oleh masyarakat lain di Indonesia.

Berikut adalah nama-nama pengetahuan tradisional hak cipta berupa motif tenun khas Sasak yang telah memperoleh sertifikat hak cipta[1] : (1) Dobol, (2) Subahnala, (3) Wayang, (4) Ragi genep, (5) Kembang Komak, (6) Gedongan, (6) Anteng, (7) Cristal, (8) Ocik, (9) Keker, (10) Merak, (11) Bintang Emper, (12) Bulan, (13) Serat penginang, (14) Begantung, (15) Tapukemalo, dan (16) Panak.

Menurut sistem HaKI, hak cipta adalah hak eksklusif bagi para pencipta untuk mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan atau memberikan izin kepada pihak lain untuk melakukan hal yang sama dalam batasan hukum yang berlaku.

Berbeda dengan hak kekayaan perindustrian pada umumnya, dalam cipta terkandung pula hak ekonomi (economic right) dan hak moral (moral right) dari pemegang hak cipta. Adapun yang dimaksud dengan hak ekonomi adalah hak untuk memperoleh keuntungan-keuntungan atas hak cipta. Hak ekonomi tersebut berupa keuntungan sejumlah uang yang diperoleh karena penggunaan hak ciptanya tersebut oleh dirinya sendiri atau karena penggunaan oleh pihak lain berdasarkan lisensi. Ada 8 (delapan) jenis hak ekonomi yang melekat pada hak cipta yaitu[2] :
1. hak reproduksi (reproduction right), yaitu hak untuk menggandakan ciptaan. UUHC 2002 menggunakan istilah perbanyakan.
2. Hak adaptasi ( adaptation right), yaitu hak untuk mengadakan adaptasi terhadap hak cipta yang sudah ada. Hak ini diatur dalam Bern Convention.
3. Hak distribusi (Distribution right), yaitu hak untuk menyebarkan kepada masyarakat setiap hasil ciptaan dalam bentuk penjualan atau penyewaan. Dalam UUHC 2002, hak ini dimaksudkan dalam hak mengumumkan.
4. Hak Pertunjukkan (performance right), yaitu hak untuk mengungkapkan karya seni dalam bentuk pertunjukkan atau penampilan oleh pemusik, dramawan, seniman, peragawati. Hak ini diatur dalam Bern Convention.
5. Hak Penyiaran (broadcasting right), yaitu hak untuk menyiarkan ciptaan melalui transmisi dan transmisi ulang. Dalam UUHC 2002, hak ini dimasukkan dalam hak mengumumkan.
6. Hak programa kabel (cablecasting right), yaitu hak untuk menyiarkan ciptaan melalui kabel. Hak ini hampir sama dengan hak penyiaran, tetapi tidak melalui transmisi melainkan kabel.
7. Droit de suit yaitu hak tambahan pencipta yang bersifat kebendaan.
8. Hak pinjam masyarakat (public lending right), yaitu hak pencipta atas pembayaran ciptaan yang tersimpan di perpustakaan umum yang dipinjam oleh masyarakat. Hak ini berlaku di Inggris diatur dalam Public Lending Right Act 1979, Right Act 1979,The Public Lending Scheme 982.

Selanjutnya yang dimaksud dengan hak moral adalah hak yang melindungi kepentingan pribadi atau reputasi pencipta atau penemu. Termasuk dalam hak moral adalah[3] :
1. Hak untuk menuntut kepada pemegang hak cipta supaya namanya tetap dicantumkan pada ciptaannya.
2. Hak untuk tidak melakukan perubahan pada ciptaan tanpa persetujuan pencipta atau ahli warisnya.
3. Hak pencipta untuk mengadakan perubahan pada ciptaan sesuai dengan tuntutan perkembangan dan kepatuhan dalam masyarakat.

Hak moral melekat pada pribadi pencipta. Hak moral tidak dapat dipisahkan dari pencipta karena bersifat pribadi dan kekal. Sifat pribadi menunjukkan ciri khas yang berkenaan dengan nama baik, kemampuan, dan integritas yang hanya dimiliki oleh hak cipta.

Undang-undang Hak Cipta Tahun 2002 membedakan jangka waktu perlindungan bagi ciptaan-ciptaan yang dilindungi oleh hak cipta. Bagi hak cipta atas ciptaan: buku, pamflet, dan semua hasil karya tulis lain; drama atau drama musikal, tari, koreografi; segala bentuk seni rupa, seperti seni lumis, seni pahat, dan seni patung; seni batik;lagu atau musik dengan atau tanpa teks; arsitektur; ceramah, kuliah, pidato dan ciptaan sejenis lain; alat peraga, peta; terjemahan, tafsir, saduran dan bunga rampai diberikan jangka waktu perlindungan selama hidup pencipta dan terus berlangsung hingga 50 tahun setelah pencipta meninggal dunia.

Sementara untuk ciptaan yang dimiliki oleh 2 orang atau lebih diberikan perlindungan hak cipta selama hidup pencipta yang meninggal dunia paling akhir dan berlangsung hingga 50 tahun sesudahnya. Selanjutnya hakcipta atas ciptaan program komputer, sinematografi, foftografi,database, dan hasil pengalihwujudan diberikan perlindungan selama 50 tahun sejak pertama kali diumumkan. Seluruh karya cipta yang dilindungi oleh Undang-Undang Hak Cipta Tahun 2002 yang dimiliki oleh suatu badan hukum diberikan perlindungan hak ciptaa selama 50 tahun sejak pertana kali diumumkan.
Berdasarkan uraian di atas, apabila dicermati secara mendalam sistem hukum hak cipta memiliki beberapa kelemahan yang menghambat perlindungan hukum hak kekayaan intelektual industri kecil yang berbasiskan pengetahuan tradisional.
Kegagalan sistem HaKI modern untuk melindungi pengetahuan dan karya tradisional berawal dari sikap pandang yang lebih mementingkan pada perlindungan hak individu bukan hak masyarakat. HKI biasanya dapat dimiliki seorang atau sekelompok individu yang dapat diketahui (baik masyarakat biasa atau perusahaan). Persyaratan yang harus dipenuhi untuk memperoleh hak milik individu mencerminkan kepercayaan dasar – biasanya dianggap sebagai hal yang diperhatikan di negara Barat, meskipun hal ini dapat dipersoalkan dan bahwa manfaat ekonomi merupakan acuan utama untuk berkarya. Hak kepemilikan pribadi kemudian diperkenalkan untuk memperbolehkan pemanfaatan ekonomi[4] .

Banyak karya-karya tradisional diciptakan oleh masyarakat tradisional secara berkelompok- berarti orang banyak memberi sumbangan terhadap produk akhir. Banyak karya tradisional seringkali ditemukan secara kebetulan. Lagipula, karya-karya dan pengetahuan tradisional juga dapat dikembangkan oleh orang yang berbeda selama jangka waktu panjang (barangkali selama beberapa abad). Bahkan lebih penting lagi, banyak masyarakat tradisional tidak mengenal konsep hak individu, harta berfungsi sosial dan bersifat milik umum. Dengan demikian, para pencipta dalam masyarakat tradisional tidak berniat atau ingin mementingkan hak individu atau hak kepemilikan atas karya-karya mereka[5] .

Kadang-kadang ada seorang wakil masyarakat yang memegang dan mengontrol informasi atau karya atas nama masyarakat, tetapi dapat dikatakan juga bahwa kepemilikan yang sungguh-sungguh tidak dapat dialihkan kepada wakil-wakil tersebut sesuai dengan syarat-syarat sistem hukum non tradisional (misalnya melalui sebuah kontrak). Kebanyakan pemerintah mengakui sistem hukum non tradisional ini. Dengan demikian sulit sekali untuk menetapkan pemilik kekayaan tradisional yang dilindungi sistem hukum HKI. Jika dilihat dari sudut panang hukum, jarang ada seseorang dari masyarakat tradisional yang berhak mengajukan tuntutan terhadap pelanggar. Kelemahan ini merupakan halangan penting dan menyebabkan hampir semua bentuk HKI tidak dapat diterapkan untuk melindungi karya-karya dan pengetahuan tradisional[6] .

Suatu ciptaan agar dilindungi hak cipta, suatu ciptaan harus bersifat asli dan dalam bentuk yang berwujud (syarat fixation). Jangka waktu perlindungan dalam hukum hak cipta yang terbatas waktunya juga tidak tepat untuk diterapkan pada karya tradisional oleh karena kebanyakan karya-karya ini diciptakan beberapa abad yang lalu.
Salah satu syarat dari hukum hak cipta adalah bahwa karya atau ciptaan yang akan dilindungi harus dalambentuk yang berwujud. Pada intinya, hal ini berarti ide tidak dapat dilindungi; suatu ide harus berupa suatu wujud atau bentuk yang dapat diproduksi ulang secara indipenden. Dengan adanya persyaratan ini berarti karya-karya tradisional tidak mendapat perlindungan hak cipta. Banyak karya seperti ini bersifat lisanatau dapat dilihat dan dipertunjukkan dan disampaikan ke generasi berikutnya secara turun temurun. Memang, barangkali masih banyak anggota masyarakat tradisional yang buta huruf, yang tidak mampu menuangkan karya-karya mereka dalam bentuk yang berwujud tulisan. Hal ini berarti, ide, tema, gaya dan teknik masyarakat tradisional tidak mendapat perlindungan hukum hak cipta, yang dapat diartikan bahwa karya ini bebas dimanfaatkan pihak lain, termasuk orang asing, tanpa izin dari masyarakat yang menciptakan karya tersebut[7] .

Undang-undang Hak Cipta mensyaratkan karya-karya yang dilindungi harus bersifat asli. Sebagaimana diketahui, hal ini berarti suatu karya harus telah diciptakan oleh seorang pencipta dan tidak boleh merupakan karya yang meniru karya lain. Yang menjadi persoalan adalah beberapa karya tradisional telah diilhami adat yang telah ada dan melibatkan pola yang meniru pola lain secara berulang-ulang dalam jangka waktu panjang. Dalam masyarakat adat berlaku ketentuan bahwa suatu kebiasaan yang tidak sama dengan kebiasaan sebelumnya dianggap melanggar peraturan adat, sehingga meskipun tetap melibatkan keterampilan ahli dan usaha besar dalam mencipta, karya-karya ini dapat disebut tiruan oleh hakim dan dengan demikian barangkali tidak memenuhi persyaratan lain.

Sebagaimana telah diketahui menurut Konvensi Bern (Bern Convention) dan Undang-undang Hak Cipta mempunyai masa berlaku selama hidup pencipta ditambah 50 tahun setelah pencipota meninggal. Meskipun hak cipta dapat melindungi karya tradisional yaitu yang berwujud dan asli, masa perlindungan ini barangkali tidak mencukupi. Dasar pemikiran pemberian perlindungan hak cipta adalah memberikan waktu kepada pencipta untuk mengeksploitasi hak-hak ekonomi ciptaannya dalam jangka waktu tertentu untuk memperoleh imbalan ekonomi yang adil. Bagi masyarakat tradisional, jangka waktu ini barangkali tidak mencukupi karena biasanya dasar pemikiran untuk membatasi maa perlindungan hak cipta tidak dapat diterapkan terhadap banyak karya tradisional. Seringkali tidak perlu adanya unsur komersial, tetapi demi alasan budaya dan spiritual[8] .




[1]Informasi dari petugas sentra HKI Bumi Gora NTB pada tanggal 31 Juli 2008
[2]Muhammad Djumhana dan R Djubaedillah, Hak Milik Intelektual : Sejarah, teori dan Prakteknya, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, halaman 65-72
[3]Abdulkadir Muhammad, Hukum Harta Kekayaan, Citra Aditya Bakti, bandung, 1994, halaman 21-22
[4]Tim Lindsey,et al. Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar,Bandung, Alumni, 2002.
[5]Ibid.
[6]Ibid.
[7]Ibid.
[8]Ibid.

Senin, 19 Juli 2010

Penanganan Perlindungan HKI Industri Kecil yang berbasiskan Pengetahuan Tradisional di Pulau Lombok (Bagian 1)


Potensi yang dimiliki oleh Industri Kecil di Pulau Lombok tidak hanya HKI yang merupakan kreativitas maupun inovasi-inovasi baru namun juga HaKI yang berbasis pengetahuan tradisional (traditional knowledge).

Terhadap karya-karya intelektual bagi Industri Kecil atas kreativitas dan inovasinya baru akan memperoleh perlindungan hukum setelah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam sistem HaKI, namun terhadap potensi-potensi yang dikembangkan dalam bisnis Industri Kecil dengan berbasis karya-karya pengetahuan tradisional menampakkan akan sulit terakomodir dalam sistem HaKI. Walaupun demikian kondisi ini tidak menjadi hambatan bagi Industri Kecil di Pulau Lombok yang mengembangkan bisnisnya dengan berbasis pengetahuan tradisional. Para pelaku Industri Kecil di Pulau Lombok terus berupaya agar kreativitas dan inovasi yang dilakukannya mendapat pengakuan dan perlindungan menurut sistem HaKI.

Karya-karya inovasi yang baru setelah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam sistem hukum HaKI akan memperoleh perlindungan hukum, namun terhadap potensi-potensi yang dikembangkan dalam bisnis industri kecil yang berbasis pengetahuan traadisional (traditional knowledge) menampakan sulit sekali terakomodir dalam sistem hukum HaKI, meskipun demikian bagi pelaku/pengrajin Industri Kecil di Pulau Lombok tidak menjadi hambatan dalam mengembangkan bisnisnya yang berbasis pada pengetahuan tradisional.

Sebenarnya ada beberapa cara yang bisa dilakukan oleh Pemerintah Daerah Propinsi Nusa Tenggara Barat agar pengetahuan tradisional masyarakat di Pulau Lombok bisa terlindungi dan tidak diambil alih atau diekploitasi oleh pihak lain, namun tidak bertentangan dengan sistem hukum Hak Kekayaan Intelektual (HaKI), yaitu :[1]

a. Melakukan identifikasi dan dokumentasi terhadap seluruh pengetahuan tradisional yang dimiliki oleh masyarakat industri kecil di Pulau Lombok yang bernilai ekonomi atau tidak.

b. Mendaftarkan pengetahuan tradisional yang dibolehkan menurut sistem hukum HaKI, seperti karya-karya di bidang hak cipta dan indikasi geografis.

c. Melakukan penuntutan terhadap pengetahuan tradisional yang dimiliki oleh masyarakat pelaku industri kecil di Pulau Lombok oleh pihak-piak lain yang tidak berhak untuk melakukan eksploitasi.

d. Membuat regulasi daerah yang substansinya melindungi pengetahuan tradisional dari unsur-unsur luar, biasanya dengan leluasa mengakses informasi pengetahuan traditional tersebut tanpa hambatan.

e. Melakukan sosialisasi kepada masyarakat Sasak untuk merasa memiliki pengetahuan tradisional tersebut sehingga tidak mudah membocorkan rahasia pengetahuan tradisional tersebut dan memberdayakan bersama-sama.

f. Membuat suatu lembaga yang bertugas melakukan pengelolaan terhadap pengetahuan tradisional masyarakat Sasak baik dari segi memberi masukan-masukan positif kepada pemerintah daerah dalam rangka perlindungan pengetahuan tradisional, melaksanakan dokumentasi, memberdayakannya kepada masyarakat Sasak untuk memperoleh nilai-nilai spriritual dan ekonomi, melakukan pembelaan hukum atas pengambil alihan oleh pihak lain, melakukan sosialisasi dan pengembangan pengetahuan tradisional.

Dari kemungkinan-kemungkinan di atas yag bisa dilaksanakan dan difasilitasi oleh pemerintah daerah dari hasil penelitian (Kanwil Departemen Hukum dan HAM NTB, Dinas Perindustrian dan Perdagangan NTB, Dinas Koperasi dan UKM Propinsi NTB, diperoleh hasil bahwa :

a. Terhadap identifikasi dan dokumentasi terhadap seluruh pengetahuan tradisional yang dimiliki oleh masyarakat di Pulau Lombok (Sasak) tidaklah dilakukan secara sistematis dan integral. Keberadaan data pengetahuan tradisional pada beberapa instansi pemerintah tersebut di atas memang ada namun masih sedikit dan tidak dilakukan secara berencana. Jadi sifatnya sporadis dan tidak secara khusus dilakukan.

b. Mendaftarkan pengetahuan tradisional yang dibolehkan menurut sistem hukum HaKI, seperti karya-karya di bidang hak cipta dan indikasi geografis ( walaupun tidak disediakan secara khusus karena kebijakan alokasi anggaran itu diperuntukkan bagi setiap karya HaKI bagi masyarakat di Nusa Tenggara Barat) memang disediakan anggarannya tiap tahun oleh Pemerintah Daerah Nusa Tenggara Barat melalui Dinas Perindustrian dan Perdagangan Propinsi NTB dan BAPPEDA. Pada kenyataannya pendaftaran terhadap pengetahuan tradisional ini merupakan inisiatif dari Lembaga Swadaya Masyarakat yaitu Lembaga Kebudayaan Nasional. Dalam hal ini khusus pengetahuan tradisional untuk Tenun Sasak sudah diupayakan perlindungannya dengan Hak Cipta.




[1] Wawancara dengan Petugas Sentra HKI Bumi Gora NTB pada tanggal 31 Juli 2008.