Setelah saya menanggapi pengertian dari
beberapa pelaku tadi, akan saya bawa lagi pada kelahirannya Bhisma. Bhisma
adalah kelahiran dari Wasu yaitu pencuri lembu di sorga. Hal ini disebabkan
oleh keinginan salah seorang isteri dari delapan Wasu yaitu Wasu Dyahu. Oleh
karena perbuatan yang dilakukan itu tidak sesuai dengan tempatnya, mau tidak
mau akan mendatangkan hasil yang tidak dapat dibenarkan. Oleh karena itu harus
dihukum. Hukuman suatu perbuatan tiada lain hanya di dunia maya ini. Dan di
dunia ini pula dia akan mendapatkannya. Orang yang masih terikat akan suatu
kenikmatan dunia dia selalu akan lahir ke dunia lagi. Sorga tidak akan mau
menerima orang yang masih terikat pada dunia. Ini pulalah penyebab kelahirannya
ke dunia ini dengan nama Bhisma sebagai putera dari Shantanu dengan Dewi
Gangga.
Dus berarti Bhisma adalah tempat dari
maya dengan sifat-sifatnya. Bhisma berarti rumah, wadah tempat segala-galanya.
Disinilah sifat Bhisma sebelum menjelang kematiannya tidak dapat ditiru dan
malah harus kita kalahkan. Tetapi manfaat yang dapat dipetik daripadanya ialah
setelah dia menyadari diri dari semua perbuatan-perbuatannya yang membawa
malapetaka. Dengan kesadarannya pula dia sanggup merubahnya sehingga menemukan
jalan untuk kelepasan. Shantanu adalah kedamaian jasmani atau lahiriah.
Seperti
apa yang dinyatakan dimuka bahwa Dewi Gangga adalah merupakan simbol pemuas
daripada kehidupan di dunia atau merupakan suatu kekuatan untuk hidup di dunia
yang dapat mensejahterakan rasa kedamaian (Shantanu). Tetapi oleh karena salah
pengertian dan ketidaktahuan akan perikehidupan maka akhirnya lahirlah suatu
sifat yang ingin menguasai sendiri (egois) yang hanya sekedar untuk memenuhi
kepentingannya sendiri tanpa memperhatikan kepentingan orang lain dan dirinya
sendiri. Ini adalah akibat yang didapat dari kepergiannya Dewi Gangga. Bila
pengisi kehidupan itu sudah tidak ada dan yang ada hanya wadah yang selalu
ingin dipenuhi, maka timbullah suatu kebingungan yang amat besar. Di sini
pulalah timbulnya suatu penyesalan yang tak ada gunanya.
Bila
diartikan lain lagi setelah Shantanu merasa puas dengan materi yang dikuasainya
dan merasa tidak perlu lagi untuk berusaha (malas) dan pergilah pengisi
kehidupan itu. Dhurgandini dengan hidup barunya yang harum semerbak dengan nama
Sayojanaghandi adalah merupakan suatu daya tarik yang luar biasa. Hal ini tiada
lain berkat jerih payah dari Bhagawan Parasara. Dengan Parasara lahirlah Bhagawan
Wyasa.
Bila kita telaah lebih jauh, kita akan
diajak berpikir ke arah kesucian hidup kerohanian yang sempurna. Dengan
pengertian kesucian berarti berpikir akan Ketuhanan dan berarti juga harus
beragama. Tidak cukup hanya berpikir saja juga harus dengan pelaksanaannya,
seperti apa yang diajarkannya kepada Dhurgandini. Di sini pula kita diajak
berpikir dalam dua perbedaan yang besar antara sifat buruk dan sifat baik.
Antara Dhurgandini sebagai sifat buruk dan Parasara sifat baik dan luhur. Jiwa
atau sumber penggerak adalah hal-hal yang baik dan luhur, dengan sendirinya
perbuatan lahiriah akan menjadi terarah dan baik. Untuk membedakannya dari
kedua kekuatan yang ada dan saling bertentangan timbullah suatu kreatif yang
disebut pikiran. Pikiran yang kreatif dan baik akan dapat menolong kehidupan
kita. Dan di sini sebagai pelakunya adalah Bhagawan Wyasa.
Setelah alam berpikir kita
bertambah dewasa sebagai hasil didikan dari kehidupan duniawi yang baik serta
berwibawa yang dapat melepaskan diri
dari karma-karma yang menimbulkan wasana
yang tidak baik di dalam menuju kesucian bathin untuk dapat melepaskan diri
dari sifat ketergantungan akan ikatan diri kita dari pemikiran akan sorga
neraka. Dengan berpikir demikian kita akan ikhlas ditinggalkan oleh kedua orang
tua untuk pergi bertapa ke Ratehu atau ke alam kebebasan. Begitu pula kedua
orang tuanya akan pergi meneruskan hidupnya masing-masing menurut fungsi dari
hidupnya sendiri-sendiri. Parasara melanjutkan perjalanannya menuju
pertapaannya, sedangkan Sayojanaghandi diserahkan lagi kepada Dasabala sebagai
bapak angkatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar