Kembali lagi
akan kepentingan rohani dan jasmani. Kedua sifat itu saling
bertentangan, yang satu materialis yang satu mistik, atau yang satu
keterikatan dan yang satu lagi
kebebasan. Yang satu ingin selalu
hidup di dunia, dan yang satu lagi tak mau kembali ke dunia. Kalau demikian halnya,bagaimana caranya agar dapat mengisi keduanya? Jalannya secara
mudah dapat diketengahkan. Kalau ingin
mengisi kepuasan bathin, kebebasan, hendaknya keterikatan akan materi itu harus dikorbankan. Kalau
hendak mengisi kepentingan jasmani, sifat kerohanian harus dikorbankan. Dus berarti masih berat sebelah.
Untuk itu pengertian hidup perlu
mendapatkan tempat yang sewajarnya. Pikiran hendaknya harus
dikendalikan oleh pengertian hidup. Mencari materi untuk apa? Mengejar kerohanian untuk apa
pula? Materi adalah untuk mempertahankan
hidup. Materi adalah alat untuk
mempertahankan hidup agar tetap sehat. Dengan
badan yang sehat berarti memelihara jiwa agar sehat.
Jiwa adalah memberikan kekuatan dan kesehatan agar tetap
terarah baik. Rohani memberikan pikiran yang terang dan kebahagiaan hidup. Kedua-duanya satu dengan yang lain terjalin dengan eratnya. Yang satu tidak
mau berpisah dengan yang lain. Keduanya bersifat saling memelihara. Rohani tidak akan berkeberatan untuk
menerima materi atau mengusahakan
materi sebanyak- banyaknya, asal jangan terpengaruh
atau terikat oleh materi yang
banyak itu. Sifat jasmanipun hendaknya demikian. Tidak mengganggu ketentraman rohani dalam kebebasannya. Ini adalah suatu rekreasi yang silih berganti, yang satu memberi
kepuasan yang lain. Dengan
adanya dua perbedaan yang tidak bermusuhan
satu dengan yang lain, yang satu
mau saling mengalah dan sama memberikan
kesempatan, sehingga kedua badan wadah
itu tidak lagi saling menghalangi
kehendak yang lain. Perdamaian telah terjalin
dengan baik sehingga menimbulkan suatu kehidupan yang bahagia lahir
bathin. Di sinilah pertemuan dari kedua yang bertentangn. Dengan adanya perdamaian dari kedua permintaan yang
saling bertentangan, memberikan
gerak keduanya dengan kemampuan gerak yang dimiliki. Berpikir secara ratio menemukan dharmanya, berpikir secara intuisi menemukan dharmanya. Kedua belah telah percaya dan meyakini adanya
jiwatman sebagai inti hidup. Citta akan memuaskanya,
sehingga satu demi satu akan terlepas dari ikatan citta.
Dengan demikian, habislah karmawasana
yang menjadikan badan roh, sehingga tidak
lagi akan lahir kembali setelah mati. Kehidupan inilah yang disebut MUKTI, yang menerima pahala
selama hidup di dunia saja, dan setelah mati, akan bersatu dengan Brahman.
Dengan kedua sifat itu telah menjadi satu kesatuan yang harmonis, berarti sifat
kebenaran dari TATWAMASI menjadikan suatu kehidupan yang bahagia. Kebenaran dari tattwamasi
tidak hanya berlaku terhadap roh dan jasmani, tetapi juga akan berlaku pada manusia dengan JAGAT, dan juga berlaku pada kehidupan
sehari-hari antara manusia satu dengan yang lainnya atau juga sifat individualis dengan
sifat sosial. Hidup berdampingan yang merupakan kehidupan individu dalam masyarakat
luas dan sama-sama percaya-mempercayi, harga-menghargai, mau tidak mau
akan menimbulkan suatu kedamaian hidup
yang tenang tentram. Dengan
kehidupan yang tenang tentram
akan timbul suatu kreatif yang aktif dan positif. Dengan ketentraman hidup, akan
timbullah pikiran yang terang, dengan dada yang lapang. Dengan pikiran yang terang akan dapat menentukan
arah yang tepat, dengan proporsi yang sebenarnya. Dengan demikian semua problem hidup akan dapat dipecahkan dan diatasi dengan mudah. Begitu juga dengan usaha mencari kepentingan hidup materi sesuai
dengan perkembangan zaman yang
modern, akan dapat terisi dengan sempurna. Keperluan hidup di zaman
modern tidak akan menjadikan suatu alasan untuk menyalahkan kemajuan tehnik
modern dengan segala penemuannya, malah akan dapat memberikan hidup yang penuh gairah.
Keperluan hidup modern dengan segala kemajuannya akan benar-benar dapat
bermanfaat. Apalagi telah memahami dengan secara sempurna mengenai pengertian
dari DESA, KALA, PATRA, akan memberikan
suatu variasi yang harmonis. Begitu juga dalam segala bidang pembangunan materi di dalam zaman pembangunan. Kembali
sebagai syarat yeng harus dipenuhi oleh sifat materialis adalah agar semua materi
itu memberikan suatu manfaat sebagai alat pemelihara sifat rohani dalam menuju
kelepasannya. Ratio berkembang dengan pesatnya dan tidak akan menghalangi rintangannya. Pengarahan
dari penemuan ratio tidak akan disalahgunakan demi kepentingan sendiri dengan
menghancurkan yang lain. Inilah sebagai bukti yang nyata dari Tattwamasi. Di samping usaha yang
ditujukan kearah materi hendaknya juga dapat dilaksanakan mengenai kepentingan
rohani. Pengalihan sebagai rekreasinya perlu juga melaksanakan atau mengerjakan kerja rohani dengan membebaskan
diri dari sifat materialistis. Dan
dengan sendirinya caranyapun akan berbeda. Bagaimana rohani itu akan dapat
melaksankan dharmanya, kalau yang bersangkutan,
tidak pernah melaksanakan ajaran
kerohanian. Mengapa rekreasi jasmani, dengan mengisi kepentingan nafsu
indrya? Kan menjadi tambah
capai. Dengan ajaran kerohanian
(agama) dan dengan cara-cara yang dipakai (sering disebut dengan istilah YOGA). Agama sering mempunyai
interpretasi yang sempit. Sempit, karena hanya menjurus segi pemuas rohani. Namun
dibalik itu AGAMA dalam pengertian yang lebih luas adalah suatu ilmu yang dapat
memberikan kepuasan lahir dan kepuasan rohani. Inilah JAGATHITA atau kesejahteraan dunia, atau kesejahtraan hidup di
dunia, dan MOKSA adalah kebahagiaan di akhirat atau di alam baka atau di surga.
Demikian juga mengenai ajaran Tattwamasi,
tidak hanya suatu hidup berdampingan dan sekedar menghargai dan menghormati
saja, namun akan lebih luas lagi, bagaimana pelaksanaanya agar dapat dirasakan
oleh semua. Dari Tattwamasi akan
timbul adanya YADNYA atau pengorbanan.
Korban itu tidak saja berupa materi tetapi juga rohani. Tattwamasi lebih condong menjurus kepada rasa lebih mementingkan
orang lain, lebih penting menyelamatkan orang lain dengan segala apa yang ada. YADNYA itu akan dapat berarti korban kalau
akan dapat menyelamatkan orang yang menerima korban. Tetapi apabila korban itu
akan membawa kejurang kehancuran kepada tempat berkorban, itu bukanlah korban
atau YADNYA. Yadnya adalah suatu alat yang terpenting dalam membebaskan diri
dari rasa keterikatan yang dapat menimbulkan rasa ketakutan. Yadnya adalah suatu alat dan sifat
berani. Yadnya adalah suatu alat yang
membawa kedamian dan kebahagiaan abadi (ANANDA).
Yadnya bukanlah suatu sistem ekonomi.
Bila korban dibawa ke pengertian EKONOMI, maka korban akan berhasil dengan
kerugian rohani yaitu kejengkelan serta penyesalan. Dus berarti buahnya adalah
suatu penderitaan, dan bukan suatu kebahagiaan. Sebab dari korban yang ekonomis,
akan timbullah suatu pengharapan balas jasa yang lebih banyak dari tempat
berkorban. Itu tidak mungkin. Sebab yang
menerima yadnya adalah orang yang kemiskinan atau kekurangan. Jadi tidak mungkin akan dapat memberikan balasan, apalagi akan
melebihi dari apa yang diminta. Jasa adalah
suatu upah bagi yang melakukan suatu pekerjaan. Atau juga bisa disebut ganti
rugi. Yang satu rugi pikiran, tenaga, yang satu rugi
materi. Inilah suatu sistem tukar
menukar. Itulah sebabnya hal yang
demikian bukanlah korban (yadnya)
namanya. Sistem tukar-menukar
itu adalah suatu hasil dari
persetujuan kedua belah pihak. Inilah yang disebut dari pengertian hidup berdampingan dan gotong-royong. Yang satu
memberikan apa yang dimilikinya dan yang satu memberikan apa yang diperlukan. Dengan adanya ini maka
akan timbul suatu pemikiran
untuk selalu bekerja dengan
menghasilkan suatu yang menjadi
keperluan orang lain, untuk dapat berbuat jasa dan akan mendapat jasa. Kehidupan yang seperti ini akan menghidupkan suatu perputaran hidup,
antara yang satu dengan yang lainnya,
yang satu saling memerlukan dan saling
memberi dan saling meminta. Bila hal yang seperti ini dalam hidup
saling isi mengisi, akan timbul
suatu warna dan tata kehidupan
manusia sebagai individu dan sosial. Warna ini akan dapat dilihat dalam pengertian AGAMA seperti CATUR WARNA. Warna yang
pertama yang bersifat ilmu, yang kedua keamanan perasaan materi dan tenaga. Setiap
orang perlu dengan ilmu pengetahuan agar dapat memberikan sinar dalam menuju hidup yang tentram,
sudah itu perlu adanya suatu keamanan dalam mencari atau melaksanakannya suatu kewajiban, dalam mencari pengisi
materi, dengan tenaga yang ada. Dalam catur
warna dipergunakan istilah Brahmana,
sebagai pemegang ilmu ketuhanan. Ksatria,
sebagai badan yang memberikan pengaturan serta keamanan. Wesya sebagai penyalur kehidupan. Sudra sebagai tenaga dalam
melayani ketiga tadi. Bila keempat ini telah dapat harmonis dalam diri sendiri
atau dalam masyarakat, berarti telah menjalankan suatu kebijaksanaan Tuhan atau
kebenaran hidup dalam kenyataan. Ilmu ada di otak, pemeliharaan ada pada
perasaan (dada), alat untuk
hidup ada di perut, tenaga ada pada anggota badan (tangan dan kaki). Jadi demikian berarti bahwa hidup sebagai manusia
harus mempunyai keempat alat untuk dapat hidup yang sempurna. Alat-alat
itu seperti yang sudah dijelaskn dimuka yaitu ilmu kebenaran (ketuhanan), kemauan
(rasa) materi (hidup) dan tenaga. Ilmu ada dua yatu ilmu pengetahuan kebenaran
materi (ratio) dan kebenaran gaib (iratio),
rasa keinginan dan kemauan, materi, jasad dan mistik, tenaga jasmani dan
tenaga gaib. Kalau demikian, berarti ada budhi,
citta, manah, ahamkara dan indria. Kesemuanya ada lima buah.
Kelima ini sulit sekali untuk dapat dipisahkan. Namun kalau dicari perbedaannya
satu persatu akan dapat dibedakan dalam
fungsi tugas kewajibannya. Kembali lagi akan saya bawa kedua badan yang ada.
Citta dan budhi, menjadi satu dan ahamkara
dengan indria menjadi satu pula. MANAHLAH yang menyendiri. Budhi adalah pancaran Atman di dalam Citta. Indria
adalah keinginan citta yang
disalurkan melalui jasmani. Aku sebagai
komandannya, sedang budhi dikomandoi oleh Atman. Keduanya saling bertentangan yang satu dengan yang lain.
Keinginan citta, bila ditingkatkan ke
arah kebebasan dan bila dibawa turun akan
menjelma menjadi NAFSU. Aku dan Atman sama bertentangan. Sifat aku akan mempergelap pandangan pikiran dalam melihat kenyataan, sedang Atman akan memberikan pandangan pikiran
menuju pandangan akan kenyataan. Indria
adalah alat yang ada pada jasmani.
Manah adalah pikiran yang logis. Logis berarti menyesuaikan dirinya, agar dapat memberikan kedua gerak
keinginannya yang saling
bertentangan. Penyesuaian ini,
dengan jalan memberikan kepada setiap
permintaan dengan pemikiran lebih
dahulu apakah wajar atau tidak? Apakah sesuai atau tidak? Apakah tidak merugikan salah satu yang lain? Apakah memang keperluan
yang vital atau hanya sekedar untuk
pemuas belaka? Bagaimana kalau diberikan, atau bagaimana kalau tidak diberikan? Apakah
sesuai dengan desanya, kalanya, dan putranya?
Bila kedua hal ini telah dapat dipikirkan
oleh manah barulah manah
akan dapat dikatakan memenuhi fungsinya atau telah dapat dikatakan
logis. MANAH artinya ukuran.
Manah adalah sifat dan ukuran yang tanpa
pamerih. Namun keduanya dari suatu kehendak yang saling bertentangan dengan pikiran yang logis sebagai ukurannya,
akan terjadi kedamaian dan keharmonisan. Namun kesemuanya akan dapat
melakukan fungsi kewajibannya dengan
semestinya, atau menurut dharmanya. Juga
demikian dalam pengertian Catur Warna bila keempatnya itu dapat digerakkan
oleh dharmanya (ATMAN) dan bukan oleh
A K U, akan dapat memberikan
kehidupan yang tentram damai. Bila
hal itu digerakkan oleh sang AKU keadaan akan berubah menuju sebaliknya. Kehancuran akan datang.
Penderitaan akan mengikuti kenikmatan dari belakangnya. Ilmu, perasaan, materi
dan tenaga akan membuat agama akan berubah menjadi khayalan dan
ketidakpercayaan akan kebenaran hakekat (TUHAN) tidak ada artinya. Catur Purusartha tidak berguna lagi. Tri hita
karana akan berubah fungsinya, dan tidak ketinggalan TATWAMASI sudah berarti lain hanya untuk Sang AKU. Misalnya saja
ada perangsang (uang) .Uang itu akan dilihat oleh mata (indra) dan diterima
oleh otak. Otak mulai berpikir. Datang AKU (Ahamkara)
dan budhi. Citta meminta untuk memuaskan keinginannya. Ahamkara
datang untuk menyesuaikan dengan dirinya apakah cocok atau tidak. Kalau tidak cocok akan dipandang jelek. Budhi
juga demikan. Pikiran (manah) akan
bertindak. Setelah itu dipikirkan dengan betul-betul oleh manah, barulah manah
memerintahkan pada indra gerak untuk berbuat atau untuk mengambil uang
tersebut. Tanganlah yang berbuat. Kalau pikiran itu tidak dipengaruhi oleh
sepihak, keputusan akan menjadi adil. Namun kalau salah satu yang dapat mempengaruhi,
pikiran akan dibawa ke sana. Pikiran akan lebih tinggi nilai kerjanya dan akan
menjadi pengertian. Pengertian adalah suatu kebijaksanaan. Kebijaksanaan adalah sifat dari TUHAN, dus berarti
telah melakukan pikiran yang sama dengan Tuhan. Dengan demikian akan terbebas
dan sifat pamerih. Bukanlah berarti tidak boleh menerima pahala dari setiap
perbuatan. Begitu juga sifat TUHAN, bekerja merupakan suatu kewajiban.
Kewajiban adalah suatu pengorbanan (Yadnya).
Tuhan sama sekali tidak mengharapkan pahala dari hasil perbuatan beliau. Namun
beliau mendapat Yadnya sebagai tanda
bhakti dan terima kasih dari umatnya. Kadang-kadang juga beliau mendapatkan umpatan
dari yang merasa tidak berhasil dalam usahanya. Namun beliau tidak akan
memperhatikannya, karena beliau tidak
terpengaruh oleh hasil ciptaannya. Itulah yang dinamakan YADNYA. Pengorbanan adalah merupakan suatu kewajiban. Oleh karena
itu, hendaknya jangan mengharapkan balasan dari tempat berkorban. Setiap
perbuatan pasti akan mendapatkan pahala. Namun dari siapa? Inilah pengertian akan kekuasaan Tuhan. Tuhan maha kasih
dan penyayang dan Maha adil. Karena orang tempat berkorban itu tidak akan dapat
memberikan balasan, Tuhanlah yang akan memberikan balasan, dengan melalui orang yang ketiga tanpa diketahui,
melalui perbuatan juga. Tuhan seolah-olah memberikan petunjuk dan pemikiran sehingga hasil yang masih
tersembunyi itu akan kelihatan dengan jelas dan menjadi kenyataan yang dapat
memberikan kegembiraan yang membawa kebahagiaan (Wiswamurti)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar